Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Hentikan Stigma Pada (Mantan) Anak Pidana



Opini – Hingga bulan Juni 2021, terdapat 1.597 anak yang sedang menjalani program di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (Dirjenpas, 2021). Mereka yang sedang menjalani program adalah anak-anak yang pernah melakukan tindak pidana. Lalu, untuk memperbaiki kesalahannya, menjadikan manusia yang lebih utuh, mereka di bina di dalam LPKA.

Meskipun berada dalam program pembinaan di LPKA (dulu: Lapas Anak) bukan berarti mereka malah belajar tindak kejahatan lain, sebagaimana persepsi yang sering dilabelkan pada narapidana. Di dalam LPKA mereka dididik, diberikan pembinaan kepribadian, diikutkan program kemandirian, belajar hidup disiplin, dan disekolahkan. Ya, hak pendidikan pada mereka tetap melekat (Ferdiawan, Santoso and Darwis, 2020).

Ini adalah hak-hak mereka yang harus diberikan oleh negara. Sebab, anak memang begitu istimewa cara perlakuan pada mereka juga berbeda dengan narapidana dewasa. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, mereka wajib diberikan perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi (Undang-Undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang No 23 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak, 2014).

Maka dari itu, jika di dalam LPKA saja negara melindungi, harusnya masyarakat juga ikut mengambil sikap dalam memberikan perlindungan pada anak-anak ini. Sebab tidak jarang, begitu keluar dari LPKA mereka malah dikucilkan oleh lingkungan. Bukan hanya lingkungan masyarakat, malahan lingkungan terdekat, yaitu keluarga sendiri. Padahal kenakalan yang dilakukan oleh anak adalah akibat lemahnya pengawasan dari orang tua (Saefudin, 2019).

Tindakan mengucilkan, berprasangka buruk dan memberikan label pada mereka yang sudah melalui program pembinaan, justru berkontribusi menjadikan mereka melakukan pengulangan tindak pidana (McCamey, 2010). Oleh karena itu, ada baiknya kita menjadi individu yang memberikan dukungan agar mereka merasa diterima oleh masyarakat dan berubah menjadi lebih baik lagi.

Stereotip

Tindakan mengucilkan, berprasangka buruk, dan memberikan label dalam kajian psikologi merupakan wujud dari stereotip. Stereotip menurut Robbin & Timothy dalam buku Organizational Behavior adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan (Robbins and Judge, 2016). Penilaian ini kerap kali tidak tepat, biasanya hanya memiliki sedikit sekali dasar, dan bahkan sepenuhnya dikarang-karang.

Stereotip tidak hanya berbahaya bagi Anak itu sendiri, melainkan juga bagi kita yang mempunyai pandangan tersebut. Saya bekerja sebagai pembimbing kemasyarakatan yang mendampingi dan memberikan bimbingan bagi mereka (selanjutnya disebut: Anak). Banyak dari Anak ini yang sering menceritakan kekhawatirannya ketika kembali ke lingkungan. Sebab, stigma semacam itu kerap diberikan pada mereka.

Hal ini tentu menyebabkan kecemasan dikarenakan ada kekhawatiran dari mereka, mendapatkan penolakan dari keluarga, penolakan dari masyarakat, dan ketakutan tidak bisa bersikap normal. Bukankah harusnya mereka memang tidak diperlakukan seperti itu?

Benar! Pemberian stereotip tidak hanya akan membuat perlakuan tidak adil pada Anak, namun juga menjadi label pada perilaku mereka. Labeling tersebut akan mengkhawatirkan karena dapat memperkuat motif untuk kembali melakukan apa yang dilabelkan masyarakat kepadanya, yaitu pengulangan tindak pidana.

Pada kita sendiri, stereotip semacam ini turut memberikan dampak negatif, yaitu adanya pembatasan pergaulan, kurang objektif dalam menilai sesuatu, membuat kita salah dalam mengambil keputusan, membuat pikiran kita terkotak-kotak, termasuk kita tidak dapat melihat keutuhan individu itu sendiri, alias berpandangan sempit. 

Yang harus kita sadari, sebagai bagian dari masyarakat kita harus menjalankan peran sebagai alat kontrol sosial. Yaitu sebuah peran untuk mencegah perilaku manusia untuk menyimpang dari norma yang disepakati bersama di dalam masyarakat. Sebagai seorang individu kita mempunyai tanggung jawab untuk bisa berperilaku positif tersebut sehingga menciptakan keteraturan dalam tatanan masyarakat untuk bisa hidup harmonis.

Selain itu, yang harus kita ketahui adalah ketika Anak kembali ke lingkungan kita, artinya telah ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurang tingkat risiko pengulangan tindak pidana. Upaya tersebut dilakukan terus menerus di dalam LPKA, yaitu berupa pembinaan dan pembimbingan agar Anak bisa pulih kembali menjadi manusia seutuhnya. Oleh karena itu, berikan mereka kesempatan untuk kembali, menjadi bagian dari masyarakat yang sehat. Caranya? Hentikan stigma pada mereka!


Wahyu Saefudin

Wahyu Saefudin, Penulis saat ini tergabung dalam organisasi Kemenkumham Muda, Himpunan Psikologi Indonesia, dan mempunyai minat yang tinggi dalam memberikan hak pada anak pelaku pidana.