Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Narapidana
Ilustrasi: Papua Kini

Seni Menyembuhkan Luka untuk Mantan Narapidana



Berita Baru Kalbar, Opini – Tindak kriminalitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menjadi fenomena tersendiri yang menarik untuk dikaji. Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku selalu menyisakan kerugian dan efek domino, entah itu untuk pelaku itu sendiri, keluarga pelaku, pihak korban maupun masyarakat. Begitu pula saat proses hukum terjadi pada pelaku tindak pidana melibatkan para aparat penegak hukum dengan lintas institusi, dari mulai pada proses penyidikan, pelimpahan perkara ke penuntut, persidangan hingga pada tahap akhir seorang pelaku tindak pidana akan dieksekusi sesuai putusan hakim dan menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan.

Saat seorang pelaku tindak pidana telah sampai pada tahap pembinaan di Lapas ataupun Rutan, maka konsep penyebutan pada individu tersebut telah berubah menjadi seorang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Pada tahap pembinaan dalam institusi pemasyarakatan, seorang WBP akan menjalani masa pidananya sebagaimana putusan pengadilan.

Selanjutnya, saat seorang WBP selesai menjalani masa pembinaan, baik itu karena program reintegrasi atau bebas murni maka konsep penyebutan terhadap individu seperti ini dikenal luas dalam masyarakat sebagai mantan narapidana. Tidak bisa dipungkiri frase mantan narapidana memiliki stigma dan stereotipe negatif dalam masyarakat. Sampai di sini kita memahami bahwa seorang mantan narapidana memiliki dinamika dan tantangannya tersendiri saat kembali membaur dalam masyarakat.

Padahal, dinamika dan tantangan mantan narapidana tidak hanya dialami saat proses adaptasi membaur kembali ke masyarakat, tapi juga dialami saat seorang pelanggar hukum masih menjalani proses hukumnya. Terutama pada perspektif pihak keluarga dari pelaku tindak pidana tersebut. Saat terjadi tindak pidana dan memandang kriminalitas, mungkin selama ini, kita lebih banyak menerima informasi dan lebih aware pada pihak kerugian yang dialami pada perspektif korban sehingga kita menjadi terbatas dalam menganalisis dan mengkaji dinamika pada perspektif pelaku.

Sebagai contoh yang penulis temui di lapangan, seorang pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika, saat pelaku tersebut menjalani proses hukum hingga pada tahap pembinaan di Lapas pihak keluarga mengalami kerugian tersendiri yaitu secara psikologis. Ibu dari pihak pelaku tindak pidana tersebut mengalami stress karena memikirkan anaknya hingga menyebabkan sakit dan meninggal dunia.

Pada kasus lain yang ditemui penulis, tidak jarang pula warga binaan pemasyarakatan digugat cerai oleh pasangannya saat menjalani proses pembinaan di Lapas ataupun Rutan. Pada tahap berpikir ini, kita memahami bahwa saat terjadi tindak kriminalitas akan menghasilkan resultan yang negative dan kerugian baik pada pihak korban ataupun pelaku.

Maka, frase mantan narapidana bisa kita pahami erat kaitannya dengan konsep keadaan rentan secara mental dan psikologis. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait perlu bekerja keras dalam rangka memberikan bimbingan, pengawasan, penguatan kepada para mantan narapidana. Jika merujuk kembali pada visi Pemasyarakatan yaitu memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dikutip dalam portal ditjenpas.go.id, maka seorang mantan narapidana membutuhkan pembimbingan dalam berbagai aspek kehidupan sehingga dapat menjalankan fungsi dan perannya secara normal dan bahkan dengan kondisi ideal dapat menjadi individu yang lebih baik dari kondisi sebelum melakukan tindak pidana.

Tanggung jawab pembimbingan dan penguatan terhadap mantan narapidana ini saat kembali membaur ke masyarakat tidak bisa dipandang sepenuhnya hanya milik keluarga mantan narapidana ataupun pihak-pihak terkait. Namun juga kita semua sebagai bagian dari masyarakat. Hal terkecil namun sangat signifikan yang bisa kita lakukan sebagai anggota masyarakat dalam menyikapi fenomena ini adalah tidak sepenuhnya memarginalkan dan memberikan stigma negatif para mantan narapidana yang berada di tengah-tengah masyarakat, sehingga sangat memungkinkan kita menemui perubahan perilaku oleh ke arah yang lebih baik dari para mantan pelaku tindak pidana ini.

Pada akhirnya, saat proses pembauran kembali ke masyarakat para mantan narapidana ini berjalan dengan baik, tujuan dari kondisi ideal bagi semua pihak dapat tercapai yaitu meminimalisir kemungkinan terulanginya tindak pidana. Jika sudah mencapai kondisi yang ideal seperti itu, maka kondisi tersebut tidak hanya menguntungkan secara individu tetapi juga dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.


Mustika Wardani
Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Madiun