Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Perempuan
pixabay

Bolehkah Aborsi Bagi Perempuan Korban Pemerkosaan?



Berita Baru Kalimantan Barat – Opini, Dewasa ini, angka perkosaan terhadap anak di bawah umur kian meningkat. Sepanjang tahun 2020, Komnas Perempuan dalam CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci mencatat ada 299 kasus perkosaan. Angak tersebut tentu tidak bisa dianggap sedikit. Akibatnya, tidak sedikit dari para korban yang menggugurkan kehamilan mereka karena menganggap hal tersebut sebagai aib.

Menurut Ika Yuliana Susilawati dalam jurnalnya Kajian Yuridis Aborsi Akibat Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam. Aborsi dalam istilah Islam disebut dengan al-ijhad dan isqath al-hamli yang berarti pengguguran janin dalam Rahim.

Munawaroh dalam jurnalnya Aborsi Akibat Pemerkosaan dan Kedaruratan Medis Menurut Hukum Islam menyebutkan, bahwa menurut perspektif Kesehatan, aborsi diartikan sebagai usaha penghentian kehamilan setelah terjadinya proses fertilisasi (pembuahan) dalam uterus (rahim) sebelum janin berusia 20 minggu. Adapun istilah aborsi dalam KUHP diatur dalam Pasal 346 KUHP.

Hukum Aborsi bagi Perempuan Korban Perkosaan

Pada hakikatnya, setiap tindakan mengaborsi dilarang, baik dalam hukum positif maupun fatwa MUI, karena merupakan suatu tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain (hukumonline.com). Tetapi yang menjadi persoalan adalah aborsi terhadap janin akibat perkosaan.

Bagi korban perkosaan, tentu akan menimbulkan depresi berat. Terlebih jika Ia dihadapkan dengan kenyataan kehamilan yang tidak direncanakan. Tentu akan menambah dampak yang lebih buruk jika korban tetap mempertahankan kehamilan tersebut (Tiara & Pratiwi, 2018).

Di antara dampak yang dialami korban yaitu trauma mendalam yang mempengaruhi fungsi otak, berpotensi mengidap Penyakit Menular Seksual (PMS), kerusakan organ internal, dan dikucilkan oleh masyarakat (Amalia, 2019).

Fenomena aborsi akibat perkosaan ini memunculkan respond dari berbagai pihak. Hal ini dibuktikan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 4 tahun 2005 tentang Aborsi.

Adapun dalam Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, Pasal 31 menyebutkan bahwa legalitas aborsi hanya diberikan pada kedaruratan medis dan adanya indikasi perkosaan selambat-lambatnya 40 hari sejak hari pertama haid. Bagi korban perkosaan, disebutkan lebih lanjut dalam pasal 34 bahwa bukti perkosaan harus dilampirkan baik berupa Surat keterangan dokter, keterangan psikolog, maupun keterangan dari kepolisian.

Regulasi ini dianggap lebih ramah terhadap kondisi korban yang dapat dilihat dari penyelenggaraan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab, tidak diskriminatif, dan dilakukan oleh ahli medis yang sangat berkompeten (pasal 35).

Bolehnya Aborsi

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 75 Ayat (1) menyebutkan tentang larangan aborsi. Tetapi lebih lanjut disebutkan dalam Ayat (2) bahwasanya ada 2 pengecualian untuk melakukan aborsi.

Pertama, bagi ibu hamil dengan kondisi kedaruratan medis yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi ibu/janin dan adanya penyakit genetik yang menyebabkan janin susah lahir.

Kedua, bagi korban perkosaan yang dikhawatirkan akan sangat berdampak buruk terhadap kondisi psikologis korban. Tetapi aborsi bagi korban perkosaan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan setelah upaya konseling dan penguatan pra dan pasca tindakan oleh konselor yang berwenang. Aborsi dibolehkan apabila dilakukan selambat-lambatnya 6 (enam) minggu usia kehamilan (Pasal 76).

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi. Fatwa tersebut membolehkan aborsi dalam keadaan darurat dan keadaan hajat. Yang dimaksud dengan keadaan hajat yaitu ibu hamil yang mengidap penyakit keras seperti TBC, kanker, dan sakit keras lainnya.

Selain itu, kondisi kehamilan yang membahayakan ibu juga dikategorikan dalam keadaan darurat. Adapun keadaan hajat yaitu bagi janin yang divonis menderita kelainan genetik sehingga kelak jika lahir akan sulit disembuhkan. Bentuk keadaan hajat yang kedua yaitu perempuan hamil korban perkosaan yang dibuktikan oleh keluarga, dokter, dan ulama. Untuk Wanita hamil akibat perkosaan, aborsi hanya boleh dilakukan sebelum janin berusia 40 (empat puluh) hari dan wajib dilakukan di fasilitas kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.


Siti Aminah
Penulis merupakan Mahasiswa Master of Islamic Studies, Sultan Zainal Abidin University, Malaysia