Pandemi, Kelompok Sosial, dan Anak Berkonflik dengan Hukum
Sudah lebih dari satu tahun masyarakat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Pandemi membuat perubahan besar dalam tatanan hidup masyarakat. Perubahan tatanan ini merupakan wujud penerapan berbagai kebijakan pemerintah untuk menanggulangi penyebaraan infeksi Covid-19.
Kebijakan tersebut antara lain berupa menggalakkan gerakan 5M (Memakai Masker, Menjaga Jarak, Mencuci Tangan, Menghindari Kerumunan dan Mengurangi Mobilitas), Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berskala Mikro (PKBM) maupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pembatasan aktivitas tersebut meliputi kegiatan sekolah, perkantoran, ibadah, sosial budaya, penggunaan fasilitas dan transportasi umum. Pemerintah memberikan skala prosentase maksimal keterisian dan persyaratan di setiap kegiatan sesuai dengan kategori zona wilayah terdampak pandemi.
Salah satu pembatasan kegiatan masyarakat yang memberikan dampak bagi anak secara langsung adalah pembatasan kegiatan sekolah. Anak harus beradaptasi dengan model kegiatan belajar mengajar secara daring yang lebih singkat dan padat. Anak yang sebelumnya menghabiskan banyak waktu di sekolah kini cenderung lebih banyak beraktivitas di rumah bersama keluarga dan beraktivitas di lingkungan sekitar bersama peer group-nya. Aktivitas yang anak lakukan di masa pandemi selain belajar antara lain menonton TV, tidur, nonton YouTube, mendengarkan musik, main gim, chatting dengan teman, bersosial media, membaca buku, berolahraga, berkebun, berkreasi dan berkegiatan seni (KPAI, 2020).
Kelompok Sosial dan Kasus Kejahatan
Sebagian besar aktivitas di atas dilakukan anak bersama peer group-nya. Pada banyak kasus, anak merasa lebih nyaman menghabiskan waktu bersama teman-temannya karena ia merasa lebih dimengerti, mendapat pengalaman baru yang dinilai menarik, mendapat dukungan sehingga ia merasa berarti dan dimiliki sebagai bagian dari peer group-nya.
Peer group yang termasuk dalam kelompok sosial terbentuk antara lain karena adanya kedekatan secara geografis, kesamaan dalam hal minat, kepercayaan, usia, karakter, kepentingan, tingkat intelegensi, keturunan dan nasib (Soekanto, 2012). Anggota peer group mengenal dekat satu sama lain dan berhubungan erat. Selain itu di dalam peer group terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, pola perilaku yang tersistem serta struktur yang tidak tertulis.
Struktur dalam kelompok sosial membedakan kedudukan dari anggotanya berdasarkan senioritas maupun pengaruh (Meinarno, 2018). Sedangkan perilaku yang tersistem diupayakan oleh anggota secara bersama-sama untuk mencapai tujuan berdasarkan komando dari mereka yang berada di struktur atas. Kepemilikan kapital dan sebuah identitas sosial merupakan tujuan dari kelompok sosial. Tidak jarang untuk mendapatkannya, mereka melakukan tindak pidana.Pandemi dan
Pandemi dan Pelanggaran Hukum Oleh Anak
Sejak kasus Covid-19 pertama tercatat di Indonesia, yakni 2 Maret 2020 hingga 16 April 2021, Balai Pemasyarakatan Kelas II Pontianak telah menerima 207 perkara yang dilakukan oleh anak-anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melanggar norma hukum di sembilan kota/kabupaten di Kalimantan Barat. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak-anak ini disebut dengan anak berkonflik dengan hukum.
Dari 207 anak berkonflik dengan hukum di masa pagebluk, 76 di antaranya berstatus sebagai pelajar. Hasil olah data juga menunjukkan bahwa 83 anak melakukan pelanggaran hukum secara bersama-sama. Lima bentuk pelanggaran hukum yang paling banyak dilakukan oleh pelajar secara bersama-sama yaitu; perlindungan anak, pencurian, pelanggaran lalu lintas, pengeroyokan, serta pelanggaran informasi dan transaksi elektronik.
Jumlah perkara di atas masih terbilang tinggi karena hanya selisih 29 angka jika dibandingkan dengan jumlah perkara anak yang ditangani oleh Bapas Kelas II Pontianak pada tahun 2019 sebelum masa pandemi.
Penyebab Anak Terlibat Tindak Pidana
Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Pontianak sebagai pendamping anak yang berkonflik dengan hukum kerap menemukan beberapa fakta penyebab keterlibatan anak dalam tindak pidana antara lain:
Pengaruh dari kelompok sosial. Anak berupaya menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang dianut oleh kelompoknya dengan mengubah sikap dan tingkah laku. Anak berpeluang terlibat dalam tindak pidana karena usahanya untuk diterima oleh kelompok melanggar norma hukum. Anak tidak ingin berbeda dari keputusan kelompok dan dalam beberapa kasus anak mendapat tekanan dari kelompok.
Anak cenderung abai. Anak cenderung untuk tidak menghiraukan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Anak memilih untuk melanjutkan apa yang sedang dilakukan karena ia yakin apa yang dilakukan akan berhasil sesuai yang diharapkan.
Kurangnya Informasi. Anak tidak mengetahui konsekuensi hukum dari tindakan yang ia lakukan meski anak tahu bahwa tindakan tersebut menyimpang dari norma yang ada.
Ketidakhadiran orang tua. Selama ini peran orang tua dari anak berkonflik dengan hukum lebih sibuk untuk mencari nafkah. Terlebih di masa pandemi Covid-19 berdampak secara ekonomi terhadap penghasilan orang tua. Selain sibuk mencari nafkah ada beberapa penyebab absennya orang tua pada tugas mendampingi dan mengawasi anak, antara lain: pembagian tugas pengasuhan yang tidak seimbang antara ayah dan ibu, serta orangtua percaya bahwa anak sudah mengerti aturan dan bisa menjaga diri.
Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat menjalankan perannya dengan baik. Kehadiran orang tua dapat dimulai dengan mencurahkan kasih sayang agar anak merasa dicintai. Selanjutnya, orang tua membekali anak dengan nilai keyakinan dan norma sosial. Lalu orang tua harus membangun komunikasi yang efektif. Misalnya, orang tua menanyakan apa saja aktivitas anak, siapa saja yang ia temui, hal menarik apa yang dia alami dan tentu bagaimana perasaannya hari itu. Keterbukaan dan perasaan nyaman anak merupakan hal yang penting karena dari sana orang tua dapat mengawasi dan membatasi pergaulan anak.