Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Korupsi

Korupsi Bukanlah Tariqah Kaum Santri



Berita Baru Kalbar, Opini – Indonesia merupakan negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Sungguh naif memang, negara dengan penduduk muslim terbesar, yang ajarannya melarang dan mengharamkan korupsi, justru menjadi negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.

Transparency International Indonesia (TII) telah merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020. Menurut manajer riset TII, Wawan Suyatmiko, skor indeks persepsi korupsi Indonesia saat ini berada di angka 37 pada skala 0-100. Adapun skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih (https://nasional.kompas.com).

Angka ini membuat posisi Indonesia melorot dari tahun sebelumnya yang berada pada posisi ke-85 dari 180 negara dengan skor 40. Sedangkan saat ini menempati posisi ke -102. Ini artinya kasus korupsi di negeri ini masih belum hilang. Justru malah meningkat.

Jika menilik dan menengok kembali sejarah korupsi, sudah barang tentu itu bukan hal baru. Di negeri kita, Indonesia, korupsi bisa menjadi semacam ‘budaya’ yang mengakar kuat semenjak dulu. Menurut Syamsul Anwar, dalam tulisan ilmiah yang berjudul Korupsi dalam Hukum Islam, budaya korupsi dipastikan ada semenjak dimulainya peradaban manusia bersamaan dengan sistem hidup berorganisasi.

Namun bukan berarti ini merupakan bentuk kegagalan para penegak hukum dan pejabat yang berwenang menangani masalah korupsi. Sama sekali tidak. Justru menurut penulis, masalah korupsi ini adalah masalah bersama. Harus diselesaikan bersama, dimulai dari diri pribadi, teman terdekat dan keluarga.

Korupsi Menjadi Musuh Bersama

Bagi seorang santri yang setiap hari belajar ilmu agama, hendaknya dapat memberi contoh teladan kepada mereka yang belum paham atau bahkan gagal paham tentang korupsi. Tidak paham jika telah biasa menyakiti dan memakan yang bukan milik pribadi.

Sebagai kaum bersarung, diharapkan bisa masuk ke jajaran pemerintahan dengan menunjukkan sikap ‘kesantrian’ sejati dan kesadaran sebagai muslim yang patuh terhadap agama. Bukan malah memberikan contoh buruk, seperti Mantan Menpora yang telah divonis 7 tahun penjara karena kasus suap beberapa waktu yang lalu (https://nasional.kompas.com).

Tentu kita juga ingat dengan firman Allah pada Surah Al Baqarah ayat 188 berikut : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Hikmah, Al-Qur’an Terjemahan, Departemen Agama RI, Jakarta 2013, hal 29.)

Sudah sangat jelas, dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan agar tidak makan dari hasil pekerjaan yang bathil. Tidak boleh menggunakan hak orang lain, apalagi rakyat yang merupakan amanah bagi setiap pejabat. Dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra Rasulullah saw bersabda “Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram.” (Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi, Republika, Jakarta, 2006. hal xxvi).

Begitu hati-hatinya Nabi terhadap makanan yang bakal masuk ke dalam tubuh, hingga beliau bersabda demikian. Karena setiap makanan yang masuk ke dalam tubuh sesuai dengan status makanan tersebut. Jika baik, maka akan menjadi baik pula. Jika buruk, pun akan menjadi darah daging yang buruk pula.

Sebagai muslim sejati, tentu dalam urusan memakan atau mengambil hak orang lain ini akan sangat berhati-hati. Tidak sembarangan mengambil atau memanfaatkan yang bukan miliknya. Apalagi jika hal itu sudah menjadi amanah agar dikelola untuk kemashlahatan umat. Bukan malah merasa diberi kesempatan atau ‘Aji Mumpung’ ketika diberi kewenangan dalam pengelolaan keuangan atau harta dalam bentuk yang lain. Yang jelas, itu bukan aset miliknya sendiri.

Peran Santri Melawan Korupsi

Sebagai seorang santri, hendaknya mengamalkan ilmu agama yang sudah didapatkan. Bahkan ketika sudah tidak berada di pesantren. Terlebih ketika berada di pemerintahan dan mengemban amanah rakyat banyak. Tentu menjadi ujian keimanan untuk tetap selalu berada di jalan-Nya. Tidak mengambil hak orang lain, terlebih rakyat banyak.

Sederhana saja. Cukup dengan selalu menyadari bahwa manusia masih memiliki nurani dan selalu mempertimbangkan sisi kemanusiaan dalam setiap tindakan. Lalu, ketika diberi kesempatan mengambil kebijakan, maka gunakanlah sebagaimana mestinya. Ingatlah sebuah perkataan yang disampaikan Gus Dur, “tidak penting apapun agama dan sukumu, kalo kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Wallahu A’lam.


Charismanto
Penulis adalah santri Pondok Pesantren Al Luqmaniyyah Yogyakarta. Selain ‘ngangsu kaweruh’ di pesantren, saat ini masih menempuh pendidikan di Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.