Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Wahyu Saefudin
Wahyu Saefudin, Pegiat Antikorupsi/Penulis Buku Tersesat di Hutan Ilusif.

Mengurai Paradoks: Ketika Negara Beragama Memimpin dalam Korupsi



Berita Baru, Opini – Dalam kompleksitas ragam pemerintahan global, muncul paradoks yang mengherankan: negara-negara yang sangat menganut kepercayaan agama justru tersesat dalam rimba korupsi. Kompas moral mereka seolah-olah rusak, sehingga tenggelam dalam lautan keserakahan. Ini adalah realitas yang membingungkan, menantang pemahaman kita tentang iman, etika, dan prinsip-prinsip dasar kehidupan yang benar.

Dalam riset yang dipublikasikan oleh katadata.co.id pada 2023, negara-negara dengan persentase ketaatan beragama yang tinggi seperti Indonesia (96%), Kenya (95%), Brazil (84%) justru mempunyai skor indeks persepsi korupsi di papan bawah. Misalkan Indonesia, Kenya, maupun Brazil, yang mempunyai skor 34, 32, 38, sedangkan nilai tertinggi adalah 100 (semakin rendah skor artinya semakin korup suatu negara).

Paradoks selanjutnya ketika negara dengan persentase kepercayaan terhadap agama yang tergolong rendah, justru mempunyai nilai indeks persepsi korupsi yang tinggi. Sebut saja Swedia, Prancis, maupun Australia, yang masing-masing mempunyai skor ketaatan beragama 9, 15, dan 19%. Namun, justru skor indeks persepsi korupsi ketiga negara tersebut, berdasarkan Transparency International pada 2023, mempunyai skor yang tinggi, yaitu 83, 72, dan 75.

Fenomena yang terjadi mengajak kita meresapi kedalaman ajaran agama dan tata kelolanya. Membongkar benang-benang kusut yang merajut narasi membingungkan ini. Mari kita mulai perjalanan mengurai misteri, menjelajahi nuansa religiusitas, dinamika kepemimpinan, dan pencarian integritas.

Religiusitas dan Moralitas

Penelitian berjudul Pendidikan Agama Islam sebagai Pilar Moral dan Etika mengungkapkan bahwa, dalam sosiologis masyarakat Indonesia, agama sering kali dianggap sebagai pilar moralitas dalam kehidupan sosial (Romlah dan Rusdi, 2023). Agama merupakan institusi yang identik dengan nilai-nilai etika, kejujuran, dan integritas. Di mana seharusnya membentuk dasar perilaku individu dan komunitas.

Ironisnya, terdapat ketidaksesuaian antara ajaran agama dengan praktik kehidupan nyata, terutama dalam hal korupsi. Semua agama memang mengajarkan keadilan, solidaritas, dan kasih sayang, namun sering kali kita melihat individu atau bahkan pemerintah yang mengaku beragama justru terlibat dalam tindakan korupsi.

Dalam konteks Indonesia, paradoks antara religiusitas dan praktik korupsi menjadi fenomena sosial yang sangat mencolok. Meskipun Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk yang menganut agama-agama seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, tetapi tingkat korupsi masih cukup tinggi di berbagai lapisan pemerintahan dan masyarakat.

Salah satu kasus yang mencuat adalah skandal korupsi yang melibatkan sejumlah pemimpin negeri yang juga sekaligus tokoh agama. Sebagai contoh kasus jual beli jabatan (2019), kasus korupsi pengadaan Al Quran (2011-2012), dan korupsi penyelenggaraan Ibadah haji (2010-2013), ketiganya terjadi di Kementerian Agama. Penting untuk memahami bahwa kasus seperti ini adalah cerminan nyata antara ajaran agama yang mengajarkan kejujuran dan integritas, namun diimplementasikan secara serampangan oleh individu atau kelompok yang terlibat dalam perilaku koruptif.

Kepemimpinan Beragama dan Korupsi

Terdapat serangkaian kasus di berbagai negara yang menunjukkan bagaimana pemimpin beragama, yang seharusnya menjadi teladan moral dalam masyarakat justru bersikap amoral. Salah satu contoh nyata adalah mantan Presiden Republik Korea, Park Geun-hye, yang dituduh terlibat dalam skandal korupsi besar-besaran pada tahun 2017.

Park, yang dianggap sebagai tokoh penting dalam agama Buddha, terlibat dalam skema pengarahan dana korporasi untuk yayasan amal yang dikendalikan oleh seorang koleganya. Kasus ini tidak hanya mencoreng integritasnya sebagai pemimpin beragama, tetapi juga membayangi keyakinan masyarakat terhadap integritas pemimpin berbasis agama.

Dampak kepemimpinan beragama terhadap sistem antikorupsi sangat signifikan dalam menentukan tingkat integritas suatu negara. Kepemimpinan yang jujur, transparan, dan mengutamakan kepentingan rakyat dapat menciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan untuk praktik-praktik korupsi berkembang. Namun, faktor-faktor seperti tekanan politik, madat berkuasa, dan rendahnya pengawasan dapat melemahkan integritas pemimpin beragama.

Mengatasi Paradoks: Solusi dan Tantangan
Menurut Hilmin dan Noviani (2023), psikologis masyarakat Indonesia menghormati dan menghargai pemuka agama.

Hal tersebut merupakan peluang unik untuk mengatasi masalah korupsi melalui integrasi materi dakwah dengan materi antikorupsi. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia cenderung melihat pemuka agama sebagai figur otoritas dan panutan moral.

Pengaruh sosial dan budaya yang kuat ini menciptakan landasan yang solid untuk menyampaikan pesan-pesan antikorupsi melalui narasi agama. Ketika pemuka agama menggabungkan materi dakwah dengan pesan-pesan antikorupsi, maka mendapat penerimaan yang lebih baik. Sebab dipercaya sebagai bagian integral dari keyakinan keagamaan mereka.

Dari segi psikologis, integrasi materi dakwah dengan materi antikorupsi menciptakan dampak emosional yang mendalam. Pesan moral dalam agama, yang sering kali disampaikan melalui materi dakwah, menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat. Ketika pesan antikorupsi disatukan dengan nilai-nilai keagamaan, akan membangkitkan rasa tanggung jawab moral dan kepedulian sosial pada individu.

Rasa takut akan hukuman rohaniah juga dapat menjadi faktor pendorong individu menolak tindakan korupsi. Selain itu, integrasi ini juga dapat menciptakan rasa solidaritas sosial. Di mana masyarakat merasa bahwa mereka bersama-sama melawan korupsi sebagai suatu bentuk ibadah dan pengabdian kepada Tuhan.

Pesan terakhir yang harus ditekankan adalah, bahwa integritas dan moralitas bukanlah domain eksklusif dari satu agama atau sistem pemerintahan tertentu; sebaliknya, mereka adalah pilar universal yang mendukung konstruksi negara yang bebas dari belenggu korupsi. Dengan memprioritaskan nilai-nilai ini, kita dapat bersama-sama menciptakan masyarakat yang bersih, adil, dan bermoral, tidak terikat oleh paradoks yang menghambat pertumbuhan dan kemajuan.

Penulis: Wahyu Saefudin (Pegiat Antikorupsi/Penulis Buku Tersesat di Hutan Ilusif)