Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

anak
ilustrasi pemerkosaan anak. (freepik)

Moderat Memandang Eksistensi Marital Rape dalam Islam



Berita Baru Kalimantan Barat, Opini – Salah satu topik pembicaraan yang menarik adalah soal Marital Rape, yang artinya pemerkosaan dalam perkawinan atau pernikahan. Istilah ini terdengar aneh oleh sebagian orang, karena sebagaimana pemahaman publik, pernikahan menjadi awal pembolehan hubungan lawan jenis yang sah di mata hukum dan agama. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pemerkosaan dalam perkawinan? Sederhananya pemaksaan dalam berhubungan intim. Di dalam Islam sendiri ada beberapa hadis yang menunjukkan istri harus selalu memenuhi keinginan berhubungan intim suami. Dalil-dalil ini seperti mendukung marital rape. Benarkah demikian? Paragraf-paragraf berikut adalah ulasan mengenai hal ini dengan melihat pernikahan, eksistensi term marital rape dalam Islam, dan bagaimana menengahi marital rape. Sehingga diperoleh pandangan yang  lebih moderat mengenai keberadaan Marital rape dalam Islam.

Sekilas mengenai pernikahan

Seks merupakan kebutuhan manusia. Sebagaimana Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik, dalam teorinya hierarchy of needs, meletakkan seks sebagai kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi.  

Keterkaitan dengan seks, Islam telah memberikan edoman melalui al-Qur’an, hadis, dan berbagai pendapat para ulama terkait bagaimana kebutuhan seks antara perempuan dan laki-laki harus dipenuhi dengan cara yang baik, dan diawali dengan pernikahan. Titin Samsudin dalam jurnalnya berjudul, Marital Rape Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia, menunjukkan pernikahan menjadi sarana dalam Islam untuk mengendalikan dorongan seksual, yang juga diarahkan pada hal yang baik.

Allah swt telah menyuratkan banyak ayat al-Qur’an mengenai pernikahan, sebagaimana dalam beberapa ayat al-Qur’an; seperti perintah menikahi dua, tiga, atau empat perempuan-perempuan yang disenangi, tetapi jika khawatir tidak bisa adil maka cukup satu (QS. An-Nisa (4): 3).  Al-Qur’an juga menunjukkan kategori wanita-wanita yang haram untuk dinikahi (QS. An-Nisa (4): 23). Ada juga perintah untuk menikahkan orang-orang yang masih membujang, ataupun yang layak dari hamba sahaya (QS. An-Nur(24):32).

Ini menunjukkan Al-Qur’an konsen terhadap pernikahan, guna terjadinya pemenuhan kebutuhan seks, dan lebih dari itu melestarikan keturunan dan ketentraman umat manusia. Seperti penjelasan M. Quraish Shihab terhadap ayat ke-21 dari Surah Ar-rum, yang menjadi dasar pemaknaannya terhadap sakinah dalam pernikahan. sakinah dimaknai ketenangan yang dinamis dan aktif.

Perintah menikah bisa ditemukan juga dalam hadis, seperti dalam Sunan Abu Dawud,  Bab Pernikahan, bagian 1 Dorongan untuk Menikah, Nomor 2046:

siapa saja diantara kalian yang mampu untuk menikah harus menikah, karena lebih dapat menjaga pandangan dan melindungi kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka berpuasalah, karena puasa dapat menahan syahwatnya.

Pernikahan menjadi salah satu jalan untuk menghindar dari perbuatan maksiat, zina, dan perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Seperti pemerkosaan terhadap wanita tentu sangat dilarang oleh agama. Laely Wulandari dan Lalu Saipudin, dalam jurnalnya, Marital Rape in a Comparative Perspective of Indonesian Criminal Law and Islamic Criminal Law, menjelaskan  Para ulama fikih sendiri kaitannya dengan pemerkosaan telah bersepakat bahwa wanita yang menjadi korban pemerkosaan tidak diberikan hukuman sebagai pezina.

Namun, munculnya istilah pemerkosaan dalam perkawinan menjadi tanda tanya. Bagaimana perkawinan atau pernikahan sebagai landasan awal untuk bisa memenuhi kebutuhan seks laki-laki dan perempuan, tetapi pada satu waktu bisa disebut pemerkosaan. Sebagaimana dijelaskan di awal, ketika terjadi pemaksaan di dalam berhubungan, maka itu disebut pemerkosaan di dalam perkawinan.

Selintas Pemerkosaan dalam Perkawinan menurut Islam

Merujuk kitab-kitab fikih klasik, tidak akan ditemukan istilah pemerkosaan di dalam perkawinan. Sebagaimana menurut  Syaifudin dalam jurnalnya, Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat. Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah Dan Hukum, menjelaskan bahwa konsep dan hukum pemerkosaan dalam literatur fikih belum banyak menampilkan pendapat para ahli, dan kehidupan keluarga dari suami dan istri tidak dikenal istilah yang demikian. Istilah pemerkosaan dalam perkawinan muncul belakangan. Seperti diungkap Syed et al., dalam Marital Rape and Marriage Institution, rekognisi menyangkut pemerkosaan dalam perkawinan muncul dua dekade sebelum tahun 1970.   

Jika merujuk pandangan kaum feminis, maka ada beberapa hadis yang dindikasikan bisa menjadi celah terjadinya pemerkosaan di dalam perkawinan. Salah satunya adalah hadis mengenai larangan penolakan ajakan berhubungan oleh suami. Hadis ini bisa ditemukan dalam Jami as-Shahih-nya Imam Bukhari, di bagian kitab nikah, Bab ke 85, mengenai perempuan  Yang Menolak berhubungan dengan suaminya. Ada dua buah hadis: yakni hadis ke-5193 dan 5194, yang intinya, penolakan terhadap ajakan berhubungan intim bisa mendatangkan laknat dari Malaikat terhadap perempuan. Hadis demikian, dengan redaksi yang mirip dan dikategorikan shahih ditemukan juga dalam Sunan Abu Dawud, dengan diberi judul hak suami terhadap istri.

Dalam kitab fikih seperti Mukhtasar Nailul Authar, Imam Syaukani, menjelaskan hadis ini menunjukkan kewajiban patuh terhadap suami dan pengharaman atas durhaka dan membuat marah suami.

Hadis singkat ini masih menimbulkan pertanyaan, penolakan seperti apa yang bisa mendatangkan laknat para Malaikat. Imam Ibn Hajar al-Atsqalani, berpendapat bahwa hanya penolakan yang mengakibatkan kemarahan suami yang dianggap berdosa, karena hubungan intim adalah hak suami. Ketika suami merelakan penolakan tersebut, maka tidak berdosa.  Hajiratan Firasaha, perempuan yang secara sadar, sengaja mengawali penolakan, bukan karena suami yang zalim.

Di dalam kitab-kitab fikih banyak dijelaskan hubungan antar suami istri, dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah al-Zuhaili,  kaitannya dengan hukum pernikahan sah yang lazim, memiliki pengaruh; pada pengaruh ke-11 menyangkut berinteraksi dengan baik, menjaga dari bahaya, memenuhi hak-hak dan menjalin hubungan baik, salah satu interaksi yang baik terhadap istri adalah dengan menggauli secara baik-baik. Jika seorang istri dalam keadaan kurus dan tidak memungkinkan untuk berhubungan intim, maka itu membahayakan dan tidak dibolehkan untuk menggaulinya.

Fikih Islam memang telah mengatur waktu dan keadaan yang membuat wanita atau seorang istri tidak boleh digauli. Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan kehalalan berhubungan intim melalui kemaluan wanita bukan duburnya, dan menggauli wanita dilarang di masa haid, nifas, waktu ihram, dan setelah menzihar sementara kafaratnya belum dibayar. Imam Syafii, dalam kitab Al-Umm,  prihal larangan berhubungan intim di saat haid, setelah melihat penjelasan ulama tafsir terkait ayat pelarangan menggauli di saat haid, QS. Al-baqarah (2):222), berpendapat, pengharaman berhubungan intim bersama istri ketika haid, disebabkan kotornya jalan keluar dari haid.

Menengahi Marital Rape

Sudah jelas bahwa tindakan buruk suami dalam menggauli istri, tidak dibenarkan dalam Islam. Di satu sisi ada hadis yang melarang istri menolak keinginan berhubungan intim suami. Hal ini tidak semestinya dijadikan dalil untuk berbuat semena-mena terhadap istri. Hadis ini benar adanya, tetapi tidak menafikan hadis yang lain yakni menggauli istri dengan cara-cara yang baik.

Lantas jika dalam perkawinan seorang istri mendapatkan kekerasan atau digauli dengan cara-cara yang tidak baik, maka tindakan  itu menyalahi apa yang sudah digariskan oleh dalil-dalil agama. Ini perlu menjadi pemahaman publik, terkhusus laki-laki, agar bisa menghadirkan kelembutan kepada perempuan-perempuan yang menjadi istri mereka.

Kemudian, penting pula untuk melihat pernikahan secara komprehensif. Bahwa pernikahan tidak melulu berkaitan dengan pemenuhan hubungan seks. Satu sisi hadis menuntut perempuan tidak menolak ajakan berhubungan intim suami memang ada, tapi tidak lupa untuk melihat bagaimana kewajiban yang harus dipenuhi laki-laki terhadap perempuan. Bahkan tidak hanya soal seks, seorang suami juga harus bertanggung jawab terhadap istri tidak hanya dalam kehidupan dunia tetapi kehidupan akhirat.

Hubungan intim juga jangan dilihat sebagai hasrat semata, di dalam pernikahan hubungan intim adalah ibadah yang tentu mendapat ganjaran pahala. Jika betul memahami secara mendalam  arti “ikatan”, sudah sepatutnya paham, bahwa manusia tidak akan benar-benar bebas. Sebelum menikah apakah manusia benar-benar bebas mengaktivitaskan alat seksualitasnya? Tidak juga, Allah swt menuntut untuk selalu menjaganya, agar jangan sampai diaktifkan pada hal-hal zina dan maksiat. Setelah menikah pun bertambah, tidak hanya ikatan terhadap Allah swt, tetapi juga ikatan terhadap suami, menambah ketidakbebasan. Namun, pandanglah hal ini sebagai ruang-ruang peribadatan, bukan keterkekangan.

Penulis memahami, ada banyak kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan, disinyalir karena adanya dalil yang seperti memberikan kuasa penuh laki-laki terhadap perempuan yang menjadi istrinya. Tetapi itu bukan salah dari ajaran atau dalil, tetapi kesalahan dalam memahami ajaran yang ada. Simpulan yang bisa ditarik dari uraian di atas, pernikahan menjadi jalan kehalalan hubungan intim antara lawan jenis, sehingga tidak ada istilah pemerkosaan dalam pernikahan. Karena itu, Marital rape, tidak ditemukan dalam fikih Islam. Kebolehan menggauli istri adalah selama fisik seorang wanita mampu, tidak sedang haid, nifas. Adapun menggaulinya tentu dengan cara-cara yang baik.  Kalau pun terjadi kekerasan seksual dalam hubungan keluarga, disebut saja kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga, dan Islam pun melarang yang demikian.

Salim Rahmatullah, S. Ag.
Awardee Beasiswa NTB/Master of Islamic Studies, University of Sultan Zainal Abidin, Terengganu, Malaysia