Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Julaibib
Julaibib

Istri Julaibib: Manifestasi Ketaatan Perempuan



Pernahkah mendengar kisah penerimaan seorang gadis atas Julaibib, sahabat Rasulullah saw yang tak rupawan juga bukan hartawan?

Suatu hari rasulullah melamarkan seorang gadis untuknya. Dan akhirnya, Julaibib menikahi gadis mulia, yang menerima kekurangan rupa, nasab, dan harta, sebagai bentuk kepatuhan kepada rasulullah.

Histori Islam menunjukkan, ada banyak tokoh perempuan yang patut untuk diteladani: Siti Khadijah, istri pertama nabi, perempuan pertama yang masuk Islam, pendukung setia Nabi, bahkan menggelontorkan kekayaannya untuk dakwah rasulullah.

Ada Siti Hajar, istri nabi Ibrahim as, yang begitu sabar membesarkan putranya, Ismail, di tengah gurun; berlarian dari bukit Shafa ke Marwa untuk mencari air. Ada Siti Aisyah, istri Rasulullah saw., yang juga putri Abu Bakar as-siddiq, istri nabi yang menghapal banyak hadis; dan banyak tokoh perempuan muslimah lainnya: Fatimah Az-Zahra, Siti Maryam, Asiyah istri Fir’aun, Rabiatul Adawiyah sang sufi perempuan.

Kemudian, ada istri Julaibib; berdasar pada penelusuran, tidak banyak yang menyebutkan nama istri Julaibib atau pun keluarganya. Ia lebih dikenal sebagai putri dari tokoh Anshar, yakni penduduk yang memang sejak awal tinggal di Madinah, atau penduduk asli Madinah.

Dalam kitab Asdul Ghaba Fi Ma’rifati Shahabah, Ayah si gadis disebut dengan Abu Al-Jariyah, dan Gadis istri Julaibib bernama Jariyah. Satu pelajaran berharga dari Jariyah, meski namanya tidak setenar Asiyah istri Fir’aun atau Siti Maryam yang masuk dalam ayat al-Qur’an. Adalah penerimaannya atas lamaran Rasulullah saw untuk Julaibib. Sebagaimana disebutkan ayat al-Qur’an Surah Al-Ahzab (33) ayat 36;

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”

Ayat ini, oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili—penulis kitab At-Tafsir al-Munir Fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj—dimasukkan ke dalam salah satu ayat bertemakan kisah Zaid bin Haritsah dan Zainab. Sebab turunnya ayat ini juga karena penolakan Zainab dan saudaranya atas khitbah yang dilakukan rasulullah, untuk Zaid bin Haritsah.

Demikian, Jariyah memilki kesamaan kisah dengan Zainab, yakni Rasulullah meminangnya untuk orang lain. Perbedaannya Zainab menolak, sementara Jariyah menerima lamaran Rasulullah saw.

Wahbah al-Zuhaili, dalam lanjutan tafsirannya atas ayat ini, bahwa penyebutan Allah dalam ayat ini digunakan untuk menunjukkan keagungan perintah dan isyarat bahwa ketetapan rasulullah juga ketetapan Allah swt. Kemudian, tidak ada pilihan selain mengikuti pilihan Rasulullah saw, dan wajib baginya (mukmin dan mukminatin) untuk menjadikan pilihannya sesuai dengan pilihan Allah dan Rasul-Nya.

Melihat kisah dan sebab turunnya ayat ini, ditemukan suatu bentuk model pernikahan yang dipraktikkan sejak zaman Rasulullah saw, dan Rasul menjadi aktor langsung dalam pernikahan sahabat-sahabatnya. Model pernikahan yang mempercayakan jodoh atau penerimaan atas pasangan pada tokoh agama.

Apakah model pernikahan yang demikian masih relevan di era ini? Praktik seperti itu terus berlangsung, terutama di pondok-pondok, para kyai sering menjodohkan santri dan santriwatinya. Tentu, muncul pernyataan “para kyai kan bukan Rasulullah saw, belum tentu memiliki kapabilitas seperti halnya Rasulullah saw.” Perlu diingat, dalam sebuah hadis, bahwa “al-`ulama’u waratsatu al-anbiya” para ulama adalah pewaris para nabi.

Ini berarti mempercayakan perihal pernikahan kepada ulama juga masih bisa dilakukan sampai saat ini, karena ulama pun pewaris Nabi. Namun, pada ulama yang mana? Tentu ulama-ulama yang Anda percaya, yang mencerminkan laku, sikap, dan akhlak Rasulullah saw. Meskipun pernikahan pun tidak selalu harus demikian.

Terakhir, penulis kembali menekankan, role model pada tulisan ini adalah Jariyah, Penerimaan Jariyah atas Julaibib menunjukkan ketaatan seorang perempuan terhadap kehendak atau perintah agama yang berwujud tokoh agama, dalam hal ini Rasulullah saw.

Dimana Ia tidak lagi melihat ketampanan, kekayaan, dan keturunan dalam urusan pernikahannya, tapi keislaman yang mencakup ketaatan di dalamnya. Inilah Jariyah, satu contoh sikap perempuan yang memanifestasikan ketaatan terhadap agama.



Salim Rahmatullah, S. Ag.
(Awardee Beasiswa NTB/Master of Islamic Studies, University of Sultan Zainal Abidin, Terengganu, Malaysia.)