Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Tren Dunia Digital dan Faktor Penentu Tindak Pidana Pada Anak



Berita Baru Kalbar, Opini- Ada saja kelakuan manusia digital zaman sekarang. Segala daya upaya dilakukan demi mendapatkan perhatian dari masyarakat digital. Baru-baru ini lahir tren di dunia digital Nusantara yang cukup meresahkan. Awalnya video milik seorang pemuda, yang belakangan ini disinyalir adalah mantan atlet tinju, membuat konten “salam dari Binjai”.

Adegan yang diperlihatkan cukup miris, Ia memuntahkan bogem mentah kepada pohon pisang yang tidak salah apa-apa hingga roboh. Jelas mudah saja ia melakukannya akibat dari ilmu tinju yang dimiliki, tapi apa daya berbagai akun media sosial mengunggahnya begitu saja, tanpa ada embel-embel “mantan atlet tinju”. Alhasil lahirlah satu tren baru di kalangan anak-anak dan pemuda, untuk melakukan hal yang serupa. Tanpa peduli alasan pembuat konten melakukan hal tersebut, dan pohon siapa yang Ia robohkan tersebut. Pada akhirnya, dari tren justru menjadi masalah baru.

Siang itu saat jam istirahat kantor, saya dibuat kaget oleh cerita seorang satpam. “Mas kemaren ada cerita lucu di kampung saya,” ucapnya sambil melipat bibirnya sekuat tenaga, agar tidak tertawa saat bercerita. “Kenapa mas?” Tanya saya karena penasaran. Sambil menyalakan sebatang rokok, dia menjawab, “itu, anak-anak kecil di kampung saya disuruh ganti rugi pohon pisang.” Pikiran saya langsung tertuju pada tren di dunia digital yang sedang menjangkiti kalangan netizen muda Nusantara, “salam dari binjai bukan?” tanya saya sambil menebak-nebak arah pembicaraanya. “Iya mas, mereka disuruh ganti rugi sesuai ukuran pohon yang dirobohkan, kalau tidak mau dibawa ke ranah hukum,” jawabnya sambil setengah tertawa, karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkah anak-anak di kampungnya yang meniru konten tersebut.

Cerita satpam tadi, mengingatkan saya pada rentetan peristiwa yang pernah menyelimuti kehidupan generasi penerus Nusantara. Di awal tahun 2000-an anak-anak Nusantara sempat melakukan beberapa adegan berbahaya mulai dari tarung bebas ala Smack Down sampai menggunakan senjata tajam layaknya aksi Naruto. Saat itu, lembaga berwenang tanggap sehingga perilaku berbahaya lainnya segera tercegah, dengan melakukan pelarangan tayangan, hingga memindahkan jam tayang.

Namun, zaman sudah berubah, akses untuk menuju konten terlarang mudah sekali diakali, jalur-jalur tikus mudah untuk di pelajari, terlebih bagi anak yang lahir di era digital, bukan hal yang sulit. Lha gimana, saat saya mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum saja, ia mengaku idolanya adalah Joker. Siapa yang tidak tepok jidat mendengar jawaban polos namun berbahaya itu.

Ibunya yang duduk di samping anak tersebut ketika saya tanya mengenai Joker, jawabannya hanya geleng-geleng kepala. Tren dunia digital bergulir sangat cepat ia meninggalkan riwayat ingatan pada anak, yang akhirnya diproduksi menjadi perilakunya. Bukan tidak mungkin nantinya mereka akan diasuh oleh gawai dan dibentuk oleh tren dunia digital sehingga melakukan perilaku yang menyimpang dari peraturan di dunia nyata.

Tindak Pidana Produk Digital

Anak merupakan peniru ulung, beberapa eksperimen para ahli sudah membuktikannya. Salah satu eksperimen yang paling terkenal yaitu Bobo Doll’s milik Albert Bandura. Eksperimen tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa proses pembelajaran akan dapat dilaksanakan lebih berkesan dengan pendekatan pemodelan. Dari kesimpulan tersebut lahirlah satu konsep belajar sosial, yang banyak digunakan oleh para pengajar di seluruh dunia. Lagian, otak manusia lebih mudah menerima sesuatu yang berkesan. Pemodelan memberikan kesan, “jika aku melakukan hal seperti contoh maka aku akan mendapatkannya,” suatu konsep yang akhirnya melahirkan satu teori belajar sosial.

Anak cenderung mudah dalam melakukan proses imitasi perilaku orang dewasa di sekitarnya, bahkan perilaku membeo pada anak sering kali tidak cepat disadari oleh orang dewasa, sebelum akhirnya memberikan dampak buruk bagi dirinya dan orang sekitar. Terkadang orang dewasa disekitarnya sering menganggap enteng, bahkan main-main saja. Ya, dunia anak memang dunia main-main, tetapi kalau sudah membahayakan dirinya dan oranglain, mungkin bisa jadi sudah keluar dari peraturan permainan. Perilaku anak di era digital dipengaruhi oleh tren yang terjadi, kelihaiannya dalam mengoprasikan perangkat lunak sering membuat orang tua mati langkah, sehingga kesulitan mengejarnya.

Pengawasan yang kurang dari orang dewasa di sekitar anak dalam menjelajahi dunia digital, sering kali menjadi sebab permasalahan di dunia nyata. Ancaman besar sedang mengintai para calon pemegang tongkat estafet bangsa. Dunia digital ditangan generasi membeo ini seperti pisau bermata dua, bila diarahkan pada perilaku yang berbau kebaikan maka akan diikuti kebaikan tersebut begitupun sebaliknya. Bahan baku berupa tontonan konten di dunia digital tidak semuanya buruk, ingat pada awal pandemi saat satu daerah menggencarkan gerakan warga bantu warga? lalu secara serampak diikuti para kaum muda di daerah lainnya. Itu hal yang luarbiasa.

Sayangnya, sudut pandang kita terhadap perasaan orang lain mulai sedikit memudar. Mungkin salam dari binjai dengan melepaskan bogem mentah secara brutal kepada batang pohon pisang terasa biasa saja, tetapi bagaimana dengan perasaan para petani pisang? Jelas hancur lebur, tanaman yang Ia rawat hingga besar harus luluh lantah karena salam dari binjai. Tadinya mau ikut tren biar dibilang keren oleh kawan, malah jadi perkara tindak pidana. Seolah itu hanya memukul pohon pisang, tetapi kita tidak tahu hati manusia mana yang tersayat dengan perilaku kita tersebut. Kalau kata Rusdi Mathari dalam bukunya berjudul Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis, “kekejaman manusia sering kali melebihi batas.”

Membatasi pembuatan konten tentu bukanlah pilihan, malah menimbulkan permasalahan baru yang pelik. Tetapi membiarkan konten berbau kekejaman  tanpa maksud yang jelas semacam ini hingga menjamuri dunia digital Nusantara, bisa jadi penyebab permasalahan pada anak. Bayangkan akibat anak tidak memahami maksud dan tujuan konten, lalu Ia melakukan hal yang sama, bisa saja ia terjerat kasus tindak pidana, seperti anak berhadapan dengan hukum yang idolanya adalah joker. Baik buruknya perilaku anak di era digital, bergantung dengan konten digital yang Ia saksikan, bahwa mereka sedang masa meniru apa yang ia saksikan. Semakin sering Ia melihat perilaku menyimpang yang diberikan penguat positif pada budaya digital kita, maka perilaku tersebut dianggapnya adalah kebenaran.