Merdeka dari Pikiran Praktis di Tengah Wabah Meminta Belas Kasih
Membimbing seorang mantan narapidana yang sedang menjalani program integrasi sosial, praktis membawa anugerah tersendiri yang patut saya disyukuri. Terlebih, ketika mendengarkan kisah perjuangan mereka untuk mendapatkan kembali kepercayaan sosial.
Bahkan, lingkungan terdekatnya terkadang tidak mau memberikan hal tersebut. Itu masih mending, yang sedikit merepotkan ketika Ia tidak diterima secara fisik oleh lingkungan sosialnya. Terlebih bagi mereka yang mempunyai riwayat pengulangan tindak pidana. Akan banyak menguras energi, namun ada kisah dari seorang mantan narapidana yang berjuang mendapatkan kembali kepercayaan.
Apalagi dalam keadaan pandemi seperti sekarang ini, akan tetapi tidak bisa dipungkiri mereka sedikit diuntungkan dengan adanya pandemi, pasalnya negara menerapkan berbagai program untuk penanggulangan dan pencegahan penyebaran virus di dalam Lapas dan Rutan.
Namun kita semua mengetahui, bahwa virus jahanam ini menyebabkan banyak sekali kesusahan hidup, bayangkan saja dalam kondisi serba sulit dan terbatas ini, kita harus hidup terombang-ambing tanpa kepercayaan sosial. Sedangkan yang sudah mendapatkan kepercayaan sosial saja, banyak yang masih kesusahan.
Namun saya belajar banyak dari IW, tekadnya untuk memulai hidup baru merupakan tamparan keras bagi saya. Siang itu, IW mendapatkan surat keputusan program integrasi sosial Cuti Bersyarat (CB). Wajahnya terlihat sumringah saat saya sedang melakukan pengambilan datanya untuk proses pencatatan klien pemasyarakatan. IW berubah status dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) menjadi klien pemasyarakatan.
“Pak, setelah ini bapak mau ngapain?” Tanya saya. Ia tidak lantas menjawab, saya menyadari kebingungan yang sedang Ia rasakan. Bayangkan saja, kehidupannya harus dimulai kembali dari nol. Ia harus merasakan dinginnya jeruji besi karena kesalahannya, sebagai kepala keluarga Ia sempat bermain api di tengah bahtera rumah tangga yang sudah Ia bangun belasan tahun. Alhasil, semuanya terbakar, istrinya meninggalkan dia, keluarganya tercerai berai, tetapi keberuntungan masih berpihak pada dirinya. Kesempatan kedua yang diberikan untuknya.
“Jelas, saya ga bisa kembali ke pekerjaan yang sebelumnya pak,” jawab IW, sambil menundukkan kepalanya. Ia terlihat kebingungan, kenyataan pahit harus diterimanya sebagai konsekuensi dari kasus penggelapan yang pernah Ia lakukan. Uang hasil penggelapan tersebut ia gunakan untuk pelarian dari kehancuran rumah tangganya. Nahas, niat untuk menutupi rasa sakit, malah menimbulkan pesakitan baru bagi dirinya dan orang terdekatnya.
Rasa penasaran atas jawabannya IW, mendorong saya untuk melontarkan pertanyaan ulang, tetapi kali ini sedikit mendalam. “Kalau begitu, Bapak mau ngapain setelah ini? Kan nggak mungkin Bapak mau balik lagi ke dalam (lembaga),” tanya saya sambil melirik ke dia. “Tidaklah Pak, ini pertama dan terakhir, saya masuk lagi, dalam tidak enak, sepertinya saya mau mengojek saja, Pak.”Jawab dia sambil memandang saya.
“Bagus itu Pak,” puji saya untuk meninggikan semangat hidupnya. Saya mencoba memahami apa yang dia rasakan. Dahulu Ia dapatkan uang dengan begitu mudah, kepercayaan penuh Ia terima. Tetapi cara pandangnya yang praktis dalam penyelesaian masalah, membuatnya hancur berkeping-keping.
“Saya menyadari betul Pak selama di dalam, bahwa yang saya lakukan selama di luar hanya untuk bersenang-senang, bukannya menghilangkan rasa sakit, tetapi malah bikin tambah sakit,” jawab dia sambil matanya berkaca-kaca. Saya kaget, mendengar jawaban tersebut.
Kesusahan dan Praktis dalam Berpikir
Kisah dari IW mengingatkan saya pada satu tren yang sedang digandrungi para generasi muda. Jiwa altruisme kita sedang dipompa sepenuh mungkin, sempat heboh di pertengahan tahun ini ada semacam kegiatan berbagi dengan cara cukup unik, mereka menyebutnya permainan ikoy-ikoyan. Tujuannya begitu mulia, berbagi kepada yang membutuhkan. Saat itu sedang masa pembatasan kegiatan sosial, tentu untuk menjaga semuanya maka menggunakan akun media sosial menjadi wadah yang masuk akal, untuk menyalurkan niat mulia ini.
Instagram dipilih sebagai media sosial untuk mengglorifikasi permainan ini. Media tersebut dipilih karena mempunyai fitur untuk pertanyaan, selanjutnya akun tersebut membagikan pertanyaan tersebut kepada pengikutnya melalui Instastory. Menariknya, jawabannya bukan berbentuk pilihan, tetapi isi. Sehingga para pengikutnya dapat memberikan alasan atas pertanyaan besar, “kenapa Ia pantas mendapatkan hal tersebut.” Hanya dengan menuliskan jawaban dari pertanyaan tersebut, para pengikut bisa menerima pemberian dari si pemilik akun.
Namun saya masih bingung, bagaimana cara si pemilik akun menilai bahwa jawaban para pengikutnya adalah benar tanpa kebohongan apapun? Bukankah ini menimbulkan masalah baru? Pola pikir praktis untuk mendapatkan sesuatu. Si pengikut mendapatkan apa yang ia mau dengan cara tersebut, yang lebih mengherankan lagi, ada salah pengikutnya yang menuliskan, “kalau main seperti ini sering tidak dapat,” lalu si pemilik akun sekaligus pembuat permainan, menjawab pertanyaan tersebut, “saya kasih 500.000 biar ikut merasakan.”
Bukankah metode menyalurkan dan menularkan kebaikan, seperti ini akan menimbulkan permasalahan baru? Untung saja, cara Jusuf Hamka dalam menyalurkan dan menularkan kebaikan mengobati saya. Dalam sebuah acara podcast, Ia menyebut apa yang telah dia lakukan sebagai monopoli pahala, dengan nasi kuning 3.000 rupiah. Mereka yang membutuhkan akan datang ke warungnya dengan hasil usahanya. Karena harganya yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, Ia bahkan sempat melihat seorang juru parkir yang membeli nasi kuningnya, balik lagi dengan mengajak kakek-kakek dan menraktirnya.
Cara berpikir praktis dalam penyelesaian masalah, terkadang membuat manusia lupa akan hakikat dari sebuah proses. Memahami proses sebagai bentuk kerumitan, merupakan awal dari pola pikir praktis. Pola pikiran praktis apabila dilakukan secara konsisten akan melahirkan sebuah kesesatan baru.
Seperti halnya IW, yang mencoba melampiaskan lukanya dengan dalih mengobati, justru membuatnya terperosok dalam jurang kesesatan. IW masih beruntung, Ia menggelapkan uang lalu menyadarinya. Tapi ada banyak manusia di luar sana, dengan tenang bahkan cenderung bangga meniti jalan praktis. Lalu, ketika terjerumus dalam lembah hitam, dan ketahuan malah meminta belas kasih.
Label Negatif Terhadap Proses
Proses sering kali diartikan sebagai sebuah kerumitan. Pelabelan semacam ini merupakan produk dari cara berpikir praktis yang menyesatkan. Padahal sebuah ‘proses’ menyimpan sebuah harta karun paling berharga. Seperti halnya kisah Warren Buffett, ada lebih dari 2.000 buku yang menuliskan tentang bagaimana ia membangun kekayaannya. Namun hanya sedikit yang memberikan fakta sederhana. Morgan Housel dalam karyanya The Psychology of Money, menyadari hal tersebut.
Buffett, sudah mengumpulkan hartanya sejak usia belia. Ia menghabiskan hampir tiga perempat abad hidupnya untuk menumpuk uangnya melalui investasi, sehingga pada usianya yang ke- 50 tahun memiliki harta yang fantastis, 81,5 miliar dolar. Lha gimana, Ia lebih dahulu mengenal investasi, sedangkan ukuran saya sendiri baru tahun lalu memiliki kesadaran, ya jelas masih ketinggalan jauh.
Angka yang fantastis tersebut, buah dari proses yang sering dilupakan, fokus kita hanya pada jumlahnya yang terbilang “wow”, namun lupa pada satu hal, apakah kita siap merasakan sakitnya untuk menahan jiwa konsumtif lebih dini dari Buffet? Jelas Buffet kecil mempunyai modal yang cukup, kalau mau menuruti jiwa konsumtifnya. Kebanyakan dari kita luput pada proses tersebut. Seperti halnya IW, yang luput pada sebuah proses penyelesaian masalah akibat dari sakit yang ia ciptakan sendiri. Lalu ia memilih jalan praktis untuk menyelesaikan permasalahannya, hingga terjerumus pada tindakan merugikan orang lain. Beruntung kita yang masih diberikan kekuatan untuk menapaki sebuah proses. Jatuh bangunnya adalah cara yang sudah ditentukan untuk mencapai tujuan tertentu.