Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

juvenile justice
Ilustrasi; Serial Juvenile Justice. (imdb)

Film Juvenile Justice dan Realita Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)



Berita Baru Kalbar, Opini – Saya baru saja menyelesaikan sepuluh episod serial Netflix yang menceritakan tentang sistem perdilan pidana anak di Korea, Juvenile Justice. Bagi saya, film ini menarik karena berkaitan dengan pekerjaan saya sehari-hari sebagai pembimbing kemasyarakatan, yang juga mempunyai peran penting dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

Saat menonton fim bergenre crime ini jangan harap anda akan menemukan kisah percintaan atau komedi di dalammnya, sebagaimana drama Korea pada umumnya. Selama sepuluh episode, kita disuguhakan berbagai kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Sebagian besar andegan film merupakan proses penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Di Indonesia sendiri penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum di atur dalam Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem perdilan Pidana Anak (SPPA). Undang-undang ini bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik untuk anak yang berhadapan dengan hukum. Mungkin terdapat perbedaan antara sistem peradilan pidana anak di Korea dengan Indonesia. Namun realita anak berhadapan dengan hukum tidak ada perbedaan.

Faktor Risiko Keluarga

Selama kurang lebih tiga tahun saya terlibat dalam penanganan ABH, banyak hal yang saya amini dari film Juvenile Justice. Apa yang diceritakan dalam film tersebut benar saya alami di lapangan. Anak yang melakukan tindak kejahatan selalu dipengaruhi secara tidak langsung oleh faktor dari luar diri mereka. Faktor keluarga, lingkungan tempat tinggal dan pengaruh teman sebaya (peer group) memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembang anak.

Faktor keluarga mempunyai peran paling besar dalam pembentukan sikap dan kepribadian seorang anak. Anak-anak yang melakukan perbuatan melawan hukum sebagian besar memiliki latar belakang keluarga yang tidak berfungsi dengan baik.

Lima dari delapan anak yang pernah saya tangani memiliki latar belakang keluarga yang tidak utuh. Sebagian karena perceraian dan sebagian lagi akibat kematian salah satu orangtua. Tiga anak lainnya masih memiliki orangtua utuh, namun orangtua dalam keadaan sakit atau sudah usia lanjut. Kondisi orangtua yang seperti ini membuat pengasuhan anak tidak dilakukan maksimal. Sehingga yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana keluarga menjalankan fungsinya. Fungsi dalam memberikan pengasuhan yang terbaik untuk anak.

Dalam film Juvenile Justice juga dikisahkan bagaimana ada seorang anak remaja perempuan berusia 16 tahun tega melakukan pembuhunan terhadap anak berusia 10 tahun. Pelaku anak tersebut bahkan merasa puas dan bahagia setelah membunuh korban kemudian dimutilasi. Anak tersebut berasal dari keluarga yang serba kecukupan, tapi ternyata dirinya hanya tinggal seorang diri dalam sebuah apartemen mewah. Kedua orangtuanya sibuk menjalankan bisnis di luar negeri. Bahkan pada saat anaknya menjalani proses persidangan orangtuanya tidak hadir dengan alasan sibuk bekerja.

Kita bisa melihat bahwa yang dibutuhkan anak bukanlah hidup serba kecukupan. Mereka lebih membutuhkan kehadiran orangtua dalam kehidupan. Saya teringat apa yang diucapkan oleh seorang ibu pengelola Lembaga Penyelenggara Kesejahteran Sosial (LPKS) dalam film ini.

“Awal kenakalan anak itu berasal dari keluarga, mereka mencari perhatian dengan melakukan tindakan melanggar hukum, dengan dihukum mereka ingin orangtuanya sama-sama merasakan penderitaan yang dialami selama ini”.

Beberapa tindakan kriminal yang dilakukan anak bisa juga karena suatu bentuk balas dendam anak terhadap orangtua. Mereka butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtua. Mereka mungkin selama ini merasa diabaikan. Sayang, masih banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa perlakuan mereka terhadap anak-anaknya akan mempengaruhi sifat pembangkangan anak. Lama kelamaan sifat tersebut mendorong mereka untuk semakin berani untuk melakukan tindakan melanggar hukum.

Anak Korban Kekerasan

Anak-anak yang mengalami tindakan kekerasan dalam rumah tangga, juga menjadi rentan untuk melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Mereka akan mencari pelampiasan atas apa yang mereka alami. Pelampiasan yang dilakukan akan cenderung kepada perilaku destruktif dan agresif.

Kita tentu masih ingat dengan kejadian seorang bocah perempuan melakukan pembunuhan terhadap balita. Bahkan pelaku sama sekali tidak merasa menyesal setelah melakukan perbuatan keji tersebut. Anak tersebut mengaku terinspirasi dari film horor yang sering dilihatnya. Setelah dilakukan pemeriksaan dan penyelidikan, diketahui anak tersebut merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekatnya.

“Anak yang menjadi korban kekerasan rumah tangga tidak pernah akan tumbuh dewasa. 10 tahun, 20 tahun, itu semua hanya waktu yang berlalu. Sementara mereka terperangkap sendirian di masa lalu” tegas Hakim Cha Tae Jo dalam film.

Kekerasan yang terjadi terhadap anak bukan terbatas hanya kekerasan fisik saja. Kekerasan verbal dari orangtua dan orang terdekat malah lebih sering terjadi tanpa disadari oleh pelakunya. Kita sebagai orangtua seringkali menuntut banyak hal terhadap anak kita. Ingin agar anak kita selalu mendapatkan nilai bagus, juara kelas atau prestasi lainnya. Orangtua tidak pernah tahu rasa sakitnya hati anak mereka ketika diperlakukan seperti itu.

Seperti yang dilakukan oleh Hakim Kang dalam film, yang menuntut anaknya untuk mendapatkan nilai bagus di setiap ujian sekolah. Sering juga anaknya dibandingkan dengan anak lainnya yang selalu mendapatkan nilai bagus. Akibatnya anak Hakim Kang mengalami tekanan yang kemudian membuat dirinya terlibat dalam tindakan kecurangan dalam ujian. Tentu hal semacam ini bukan yang kita harapkan selaku orangtua.

Melalui film ini kita dapat belajar banyak hal. Kita selaku orangtua disadarkan bahwa perlu melakukan instropeksi terhadap peran kita selama ini sebagai orangtua. Apakah yang kita lakukan selama ini sudah memenuhi kebutuhan anak secara menyeluruh, bukan sekedar kebutuhan materiil saja. Apakah kita sudah menjalankan fungsi sebagai seorang ayah atau ibu untuk anak-anak kita?

Terkahir saya mengutip kata-kata dari Hakim Sim Eun Seok,

“Anak itu melakukan kejahatan yang tidak termaafkan. Jika orangtua tidak berusaha, maka anak-anak tidak akan pernah berubah”.


Panggih Priyo Subagyo
Saat ini mengabdi sebagai Pembimbing Kemasyarakatan sembari aktif menulis kolom di berbagai media.