Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

keadilan

Adakah Keadilan Bagi Korban Tindak Pidana?



Berita Baru Kalbar, Opini – Bekerja sebagai penegak hukum membuat saya berfikir kembali mengenai keadilan hukum. Sebenarnya keadilan seperti apa yang ingin dihadirkan oleh hukum pidana. Keadilan untuk korban, pelaku atau siapa? Rasa-rasanya tidak ada yang mendapatkan keadilan sama sekali.

Hal ini terlihat dari banyaknya putusan pidana yang mengundang pro dan kontra, dilihat dari aspek pemenuhan keadilan. Misal, putusan hakim mengenai kasus first travel pada 2019 lalu, menguatkan asumsi bahwa sistem hukum pidana kita cukup abai (kalau tidak mau dikatakan apatis) terhadap kepentingan korban. Dari sekian banyaknya kerugian yang dialami korban, mengapa semua barang bukti yang berupa uang tersebut tidak diberikan kepada korban sebagai pemenuhan kerugian? Mengapa harus diberikan kepada Negara? Apakah itu semua demi keadilan? Lantas keadilan macam apa yang ingin ditampilkan?

Belum lagi soal kasus korupsi yang korban nyatanya adalah rakyat. Sangat banyak putusan tentang pidana korupsi yang pada akhirnya tidak mementingkan keberadaan rakyat sebagai korban, melainkan pemerintah dan negara.

Sebenarnya banyak kasus serupa yang mana posisi korban selalu terabaikan dalam pemenuhan hak dan kerugiannya, baik dalam level daerah maupun nasional. Karena sistem hukum pidana yang kita miliki sudah seperti itu, sehingga mau tidak mau korban harus menerima putusan yang dianggap adil itu.

Dalam sistem hukum pidana saat ini kepentingan korban hanya dimaknai sebatas mengadili pelaku melalui pengadilan dengan menuntut tersangkanya masuk ke dalam penjara dan membayar denda. Lalu setelah pelaku masuk penjara dan (jika mampu) membayar dendanya, lantas bagaimana nasib korban selanjutnya? Tentu hanya mampu meratapi kenangan dan kerugian yang dialami.

Rasa kecewa, marah dan sedih menggumpal di dalam hati. Tidak tahu harus berbuat apa untuk mengobati kerugian yang dialami, toh pelaku sudah masuk bui.

Saya pernah menjumpai narapidana yang sedang menjalani masa pidana di penjara. Ketika ditanya apakah dia mengganti kerugian korban. Dengan santainya dia menjawab, “untuk apa saya mengganti, kan sudah dipenjara”. Tentu akan sangat mengesalkan jika kalimat tersebut diucapkan di depan korban.

Artinya paradigma yang selama ini terbangun adalah pengakuan bahwa hukuman pidana terutama penjara sudah menjadi bentuk tanggung jawab dari pelaku kepada korban. Bukankah itu agak menjengkelkan? Jika berada di posisi korban tentu akan sangat tidak puas dengan sistem yang berlaku saat ini.

Keadilan korban di Negara kita masih belum mendapat tempat yang penting. Di Negara lain, korban sudah sangat diprioritaskan posisinya. Dalam beberapa sistem pidana yang dianut oleh negara-negara maju, sudah ada upaya untuk memediasi kasus pidana dengan mempertemukan korban dan pelaku di luar Peradilan Pidana, seperti Belanda dengan strafbemiddeling, Jerman dengan Der AuBergerichtliche Tataus-gleich (ATA) ataupun Perancis dengan De Mediator Penale.

Tujuannya agar kepentingan-kepentingan korban dapat dipenuhi oleh pelaku sehingga memunculkan rasa tanggung jawab. Jadi tidak sekedar pertanggungjawaban dimasukan ke penjara saja. Menurut Natangsa Surbakti (2015), salah satu Ahli Hukum Pidana, menyebutkan bahwa model penyelesaian perkara dengan mempertemukan korban dan pelaku dalam rangka pemulihan dikenal dengan istilah Peradilan Restoratif (Restorative Justice).

Di Indonesia baru Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengakomodir proses Peradilan Restoratif dengan mempertemukan korban dan pelaku yang disebut Proses Diversi. Artinya regulasi maupun praktek proses penyelesaian perkara pidana menggunakan musyawarah antara korban dan pelaku untuk membicarakan dan memenuhi kerugian-kerugian korban baru diterapkan pada pelaku yang termasuk kategori anak. Ini termasuk langkah progresif hukum pidana yang patut diapresiasi. Paling tidak sudah pernah ada sistem yang mencoba untuk menghadirkan keadilan bagi korban.

Persoalannya kemudian bagaimana dengan pelaku yang termasuk kategori orang dewasa? Bukankah mayoritas tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang dewasa? Sayangnya hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur persoalan tersebut. Sebenarnya dalam RKUHP 2019 ada upaya untuk menghadirkan budaya Peradilan Restoratif dalam sistem hukum pidana Indonesia. Namun karena beberapa pasal mendapat penolakan, pada akhirnya RKUHP belum dapat disahkan menjadi Undang-Undang.

Terlepas dari itu semua, kehadiran regulasi yang berpihak pada terwujudnya keadilan korban sangat perlu diupayakan. Keadilan yang mampu menjawab persoalan hak dan kerugian korban dari suatu tindak pidana. Keadilan korban tidak hanya dimaknai dengan pertanggungjawaban pelaku masuk ke penjara, melainkan pelaku mampu bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi pada korban. Serta ada sikap permohonan maaf dari pelaku kepada korban sebagai bentuk penyesalan dan komitmen untuk tidak mengulangi lagi terhadap siapapun dan kapanpun. 

Tidak ada yang menjamin bahwa korban ataupun keluarganya akan menerima begitu saja dengan putusan penjara kepada pelaku. Jika masih tertinggal perasaan kurang adil, kecewa dan dendam, tidak mustahil korban atau keluarganya melampiaskan kekesalannya kepada pelaku setelah bebas. Apabila terjadi hal seperti itu, maka sangat patut dipertanyakan ada dimana yang namanya keadilan hukum itu?. Kiranya para elite negeri ini tergugah untuk menghadirkan regulasi serta proses hukum pidana yang lebih berkeadilan, baik bagi korban, pelaku, masyarakat serta Negara.

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay

Penulis adalah alumni Mu’allimin dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini menjadi ASN di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada Bapas Kelas II Pekalongan.