Anak-anak Digital dan Masa Depan Bangsa
“Tembak!! Ahh, itu di belakang. Awass!! Ah payah…” Seru seorang anak yang saya taksir umurnya kurang lebih 15 tahun duduk setengah melingkar bersama 3 orang kawannya di tengah meja warung kopi. Hal yang biasa kita saksikan di era digital, sebuah permainan yang mampu memacu keseruan dan adrenalin penggunanya. Saya tidak berhak membahas lebih dalam tentang keseruan bermain PUBG atau Mobile legend dan segala tetek bengeknya, sebab saya bukan pemain game online seperti si anak tadi.
Bahkan, istilah yang mereka ungkapkan cukup membuat saya mengerutkan kening. Yang saya tahu, mereka membicarakan strategi perang, dan nama-nama senjata ampuh untuk melawan musuhnya, ya permainan seperti ini harus mempunyai musuh, dan mengajarkan bagaimana cara membasmi musuh. Meski musuhnya dalam dunia virtual, namun acapkali saya mendengar aroma permusuhan dan umpatan yang betul-betul nyata keluar dari mulut mungil mereka, mulut seorang anak-anak.
Saya menaruh rasa khawatir kepada “anak-anak digital” yang akrab dengan simbol-simbol kekerasan, destruktif, persenjataan, perang, kelahi dan aktivitas lainnya yang menampilkan model dominasi tokoh macho dan keras serta agresif dalam menyelesaikan konflik. Kekhawatiran ini muncul bukan berarti ingin melarang atau bahkan memberikan dalil haram/halal. Namun, lebih jauh mengkhawatirkan bagaimana masa depan kreativitas mereka? Lalu, masa depan bangsa di tangan mereka. Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika: Dinamika Politik di Era Virtual (2006) turut menjelaskan bagaimana image kekerasan budaya (dalam berbagai bentuk elektronic game) yang disebarluaskan justru hanya mensosialisasikan dan menormalisasikan semangat permusuhan, ketidakberdayaan, dan kolonialisme di kalangan anak-anak.
Dalam dunia digital yang syarat akan kekerasan dan symbol militerisme, persenjataan, perang atau fighting machine justru secara berkala akan menciptakan kecerdasan destruktif di kalangan anak-anak. Sajian permainan dan tontonan yang bertemakan kekerasan bukan kali ini saja. Bahkan, di era generasi Baby Boomers (Tahun < 1960-an) simbol kekerasan dan tema-tema destruktif sudah tersaji. Meski tidak dalam bentuk permainan. Lihat, bagaimana tema-tema Berantas Komunisme hingga ke akar-akarnya, invasi ke Timor Timur pada 1975, Petrus di Rezim Orde Baru, penembakan dan kerusuhan di Trisakti, serta Semanggi adalah rentetan dari banyaknya kejadian yang justru melegitimasi kekerasan secara nyata.
Sementara dalam lingkup kebudayaan, sebagaimana yang dikatakan Julia Kristeva dalam Powers of Horror (1982). Kekerasan, kekejaman hingga tindakan brutal yang dilakukan ataupun disaksikan secara terus menerus justru dapat menjadi kebiasaan, menjadi sebuah ritual, menjadi bagian dari kebudayaan, budaya kekerasan. Ini masih dampak kekerasan, kita belum mengupas bagaimana dampak tontonan ataupun sugesti yang ditampilkan di layar virtual dengan tema seksisme pada dunia anak-anak. ini bisa jadi lebih mengerikan dari yang kita bayangkan. Tak perlu terlalu jauh ke belakang.
Februari 2019 seorang remaja asal Pringsewu nekat melakukan tindak pidana pemerkosaan kepada kakaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Aksi ini dilakukan justru bersama ayah dan saudaranya sendiri. Belakangan diketahui tindakan tersebut dipicu dari seringnya pelaku mengakses konten/film porno melalui gadget. Hal ini dibenarkan dalam keterangan Kanit PPA Polres Tanggamus yang menangani kasus tersebut.
Kesenangan dan Kekerasan
Sebenarnya, titik tolak kita berangkat pada fenomena maraknya simbol-simbol kekerasan yang justru menghampiri anak-anak pada usia transisi. Anak pada hari ini menjadi subjek sekaligus objek dimana saluran-saluran kekerasan justru (seringkali) sangat dekat dengan mereka. Anak pada dewasa ini (seringkali) kesulitan membedakan antara keterampilan destruktif dan konstruktif. Hal tersebut justru disebabkan karena kaburnya tapal batas antara kebaikan dan keburukan.
Julia Kristeva menyebutnya sebagai fenomena abjeksi yakni sebuah kondisi masyarakat yang tenggelam dalam jurang moralitas yang paling rendah hingga kesulitan membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. Jangan lupa, bagaimana konten “dewasa” yang dengan mudah diakses oleh anak-anak akhirnya mengaburkan batasan antara dunia yang tak semestinya mereka masuki. Hari ini tema kekerasan yang dekat dengan anak-anak baik dalam bentuk tontonan maupun permainan secara bertahap akan melenyapkan daya kreativitas mereka. Bahkan, nalar konstruktif mereka.
Kita akan menemukan anak dalam usia transisi yang justru akan terperangkap dalam euphoria dan perasaan ambigu. Simak bagaimana analisis Michael Foucault dalam The Use of Pleasure (1985), kekerasan terkadang menyebabkan seseorang tenggelam dalam ekstasi keriangan, jeritan dan pekikan kegembiraan yang semuanya mengarah pada perasaan senang, meski kesenangan itu muncul di balik kekejaman.
Analisis Foucault mengejewantah secara nyata dalam dunia anak-anak hari ini, lihatlah, anak-anak usia sekolah melakukan aksi tawuran atas nama solidaritas dengan teriakan heroik yang bagi mereka menyenangkan, meskipun syarat akan kekerasan hingga kekejaman. Lihat pula kakak-kakanya (baca: mahasiswa) tawuran antar kampus, fakultas, golongan, daerah ataupun warna justru menyenangkan bagi mereka. Mempertontonkan adegan kekerasan (tawuran, kelahi, pembakaran) seolah menjadi kebanggaan, kesenangan dari sebuah sikap kepahlawanan atas nama kelompok yang di dalamnya bercampur aduk kebencian dan kegembiraan. Sungguh sebuah teater yang mengerikan dari anak bangsa.
Dan dari sekian banyak adegan kekerasan yang melibatkan anak ataupun pemuda terpelajar (baca: mahasiswa) sebagai tokoh utama, sejatinya memberikan sinyal bahwa kekerasan tidak lagi dipandang sebagai tindakan yang buruk, ataupun tabu. Ia (kekerasan) bahkan bermetamorfosis menjadi sebuah perayaan kesenangan yang dibalut aroma kekerasan. Bahkan dalam kasus tawuran antar pelajar ataupun mahasiswa di beberapa daerah justru menjadi sebuah perayaan yang mampu menimbulkan semangat solidaritas dan pengakuan dalam anggota kelompok.
Sementara, pertanyaan mendasar kita, masa depan seperti apa yang mereka tawarkan kepada bangsa? Kita tentu berharap banyak pada bonus demografi yang dimiliki Indonesia di masa depan. Melihat citra kekerasan yang begitu dekat dengan anak, rasa-rasanya pertanyaan tentang masa depan “anak-anak digital” hari ini, dan masa depan bangsa di kemudian hari, patut mendapat perhatian lebih dari semua kalangan.