Perebutan dan Eksistensi Seorang Insan
Hidup tanpa perebutan adalah ruang kosong yang hampa akan penghuninya. Sejatinya, kehidupan akan berlangsung dengan berwarna ketika ada satu objek yang diperebutkan. Saat perebutan itu tidak ada, maka peradaban manusia akan berjalan ala kadarnya.
Asumsi saya ini muncul ketika menjaga anak bermain di kala istri sedang mendapat tugas untuk memimpin sebuah acara di satu waktu sebelum PPKM Darurat di mulai. Sebagai komitmen kesetaraan yang telah kami sepakati di awal pernikahan, persoalan memomong anak adalah perihal bersama yang saling berbagi ketika salah satu luang. Dan ternyata, di kesempatan memomong ini saya malah mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran.
Ketika istri memulai acaranya saya pun mengajak anak untuk bermain di taman permainan yang disediakan oleh penyelenggara. Kondisi masih sepi, tidak ada anak lain seorang pun. Putra saya senang, sekali terlihat dari matanya yang berbinar-binar. Dia langsung asyik mencoba seluruh wahana yang ada. Mulai dari perosotan, ayunan, hingga jaring-jaringan.
Sepuluh menit pertama dia masih sangat bersemangat. Melihat hal itu saya pun menjaganya sambil memainkan smartphone. Anak asik bermain di dunia nyata, bapaknya seru berselancar di dunia maya.
Ternyata yang terjadi tidak seperti perkiraan. Di menit kesebelas hingga seterusnya, anak saya mulai kebosanan. Dan akhirnya dia merengek meminta ikut berselancar di dunia maya. Tentu ini menjadi pertaruhan berat. Satu sisi saya dan istri memiliki visi agar anak tidak mengenal gawai sedini mungkin.
Di sisi lain, semua kegiatan saya dan istri tidak bisa lepas dari kungkungan gawai. Sehingga anak pun seringkali melihat kami bergumul dengan gawai. Dan itu merangsang mereka untuk mengikutinya. Ditambah lagi, jika saat ini anak saya tidak diberi gawai bisa jadi tangisannya akan sangat mengganggu jalannya acara istri. Akhirnya memberikan gadget kepada anak adalah solusi untuk menjaga kekhidmatan acara tersebut.
Lalu, hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, ada anak-anak lain muncul di area bermain tersebut dan membuat anak saya tertarik mengikuti mereka. Saya lega untuk beberapa saat. Namun, di tengah permainan mereka, terjadi konflik yang cukup pelik. Mereka saling berebutan salah satu wahana bermain. Padahal ada banyak wahana lain yang kosong dan siap untuk dimainkan.
Mungkin wahana itu adalah yang terbaik untuk dimainkan pikir saya. Akan tetapi konflik perebutan itu tidak terjadi di satu wahana saja, hampir semua wahana menjadi bahan berebutan mereka.
Melihat hal ini saya menjadi tersadar bahwa pada dasarnya fitrah hidup manusia adalah memperebutkan. Saat sebelum terlahir seorang manusia, ada sekira 250 juta sperma pada satu waktu yang dikirimkan oleh seorang ayah ke rahim sang Ibu. Angka ini sengaja dibuat tinggi, sebab segera setelah sperma-sperma ini memasuki tubuh sang Ibu, mereka mendapati diri mereka berhadapan dengan bahaya mematikan. Terdapat campuran pekat asam di dalam organ reproduksi sang Ibu yang menghalangi pertumbuhan bakteri. Campuran asam ini juga mematikan bagi sperma. Dalam beberapa menit saja, dinding rahim diliputi jutaan sperma yang mati. Beberapa jam kemudian, sebagian besar dari 250 juta sperma tersebut akan mati.
Senyawa asam ini, yang sangat penting bagi kesehatan sang ibu, sungguh sangat ampuh sehingga dengan mudah mampu membunuh semua sperma yang memasuki rahim. Pada peristiwa ini, pembuahan tidak dapat terjadi, dan ras manusia akan punah. Dan perlombaan untuk mendapatkan kehidupan sejatinya sudah dialami oleh manusia sejak dalam proses pembuahan.
Maka tidak heran, bila dalam hidup manusia selalu diiringi perlombaan dan perebutan. Karena memang itulah cara mereka untuk menjaga eksistensinya dalam kehidupan yang fana ini. Bahkan, perebutan manusia seringkali menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.
Bisa kita lihat saat musibah pandemi covid-19. Semua orang saling berebut. Baik memperebutkan obat-obatan, lauk-pauk, susu beruang, tabung oksigen, kebijakan bahkan kekuasaan. Padahal ada banyak peristiwa kematian yang sebenarnya membutuhkan empati mendalam ketimbang saling memperebutkan.
Anomali perebutan dalam kehidupan manusia bisa menjadi suatu sarana untuk memajukan peradaban, tetapi di sisi lain menjadi penghilang rasa kemanusiaan itu sendiri. Maka, tidak salah bila orang tua selalu menasehati anaknya agar membatasi diri dengan konsep eling lan waspodo. Eling bahwa sejatinya manusia hanyalah makhluk di antara makhluk lainnya. Waspada bahwa fitrah memperebutkan dapat memajukan atau malah menghancurkan. Dan yang tidak kalah penting Tuhan pun senantiasa mengingatkan bahwa kalian manusia boleh saling berebut dan berlomba, tapi ingat, hanya dalam kebaikan.