Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

anak
ilustrasi gambar./pixabay

Konformitas Pada Anak Pelaku Pidana



Berita Baru Kalbar, Opini – Kasus pelanggaran tindak pidana yang dilakukan oleh anak merupakan fenomena tersendiri dalam masyarakat. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang layak dilindungi masa depannya. Selain itu, anak juga dianggap membutuhkan perlindungan dan pembimbingan dari orang dewasa dan orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun, dengan kapasitas fisik dan kecerdasan emosi anak yang masih dalam pertumbuhan dan perkembangan, anak dianggap belum sepenuhnya mampu mengambil keputusan dalam hidupnya. Dengan segala karakter dan ciri khas dari anak tersebutlah pada akhirnya Pemerintah mengambilkan kebijakan tersendiri terkait dengan anak yang melakukan tindak pidana. Artinya hal tersebut membentuk payung hukum tersendiri bagi proses hukum anak yang melakukan tindak pidana. Sehingga memiliki perbedaan dengan proses hukum bagi pelanggar tindak pidana dengan pelaku kategori dewasa.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Yaitu pada Pasal 1 Angka 1, sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Sedangkan pada Pasal 1 Angka 3 anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Salah satu konsep yang perlu digarisbawahi dalam penanganan proses hukum pada pelanggaran tindak pidana oleh anak adalah konsep keadilan restorative, yaitu sebagaimana berbunyi pada Pasal 1 Angka 6 UU No.11 TH.2012. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Prinsip keadilan restoratif secara sederhana dapat diartikan bahwa anak yang melakukan tindak pidana masih berpeluang dapat meneruskan masa depannya dan tidak tercabut hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang.

Dari pengalaman penulis, tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan jenis pelanggaran pidana pencurian dan pengeroyokan dilakukan oleh anak bersama orang lain atau teman-teman sepergaulannya baik itu yang masih dalam kategori anak maupun yang sudah masuk dalam kategori usia dewasa. Dari situasi tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa faktor pergaulan memegang peranan tersendiri atas terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Sehingga memunculkan kerangka pertanyaan Apakah Pergaulan yang salah menyebabkan anak rentan melakukan tindak pidana?

Kondisi Mental dan Psikologis Anak

Anak dengan rentang usia 12 tahun hingga belum berumur 18 dalam bahasa lain dikatakan sebagai remaja. Salah satu ciri khas pada usia remaja adalah keinginannya untuk sama dengan kelompok dan meniru perilaku teman-temannya. Selain itu, remaja juga mengalami gejolak karena masa transisi dari anak-anak menuju dewasa dimana terjadi serangkaian perubahan fisik dan psikologis bahkan tuntutan peran dari lingkungan.

Kondisi inilah yang menyebabkan remaja memiliki emosi yang cenderung labil. Dalam mengambil keputusan hidupnya masih dalam skala yang terbatas. Lebih banyak menyesuaikan dengan lingkungan dan teman-temannya.

Dikutip dari respitory.uma.ac.id menurut Erik H. Erikson berpendapat bahwa remaja bukan sebagai periode konsolidasi kepribadian, tetapi sebagai tahapan penting dalam siklus kehidupan. Masa remaja berkaitan erat dengan perkembangan “Sense of identity Vs Role Confusion”, yaitu perasaan atau kesadaran akan jati dirinya. Sehingga masa remaja banyak digambarkan sebagai periode mencari jati diri yang kemudian menyebabkan seorang remaja sangat rentan menginternalisasi nila-nilai yang ada di lingkungan dan pergaulan sekali pun nilai tersebut salah atau melanggar norma bahkan melanggar hukum.

Selanjutnya Anna Freud (dalam Yusuf, 2005) dikutip dalam respitory.uma.ac.id merujuk periode remaja ini sebagai masa “internal disharmony” (ketidakharmonisan internal). Kondisi ini menyebabkan masa remaja dipandang sebagai “strom & stress”. Selain itu terdapat pula konsep konformitas yaitu kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini dan perilaku mereka sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok.

Maka, secara sederhana dapat dipahami remaja sangat rentan ikut-ikutan atas suatu tindakan teman-teman pergaulan dan kelompoknya tanpa berpikir panjang. Sebagai contoh, seorang remaja yang terlibat dalam tindak pidana pencurian yang ditemui penulis dilatarbelakangi karena ajakan temannya. Hal ini sejalan dengan kondisi perekonomian keluarga dari remaja tersebut tidak dalam kondisi yang kekurangan sehingga faktor ekonomi tidaklah menjadi alasan keterlibatannya dalam tindak pidana pencurian. Padahal, umumnya tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh orang dewasa sangat erat kaitannya dengan faktor ekonomi.

Dengan berbagai sudut pandang dan alasan tersebut, masa remaja merupakan masa-masa penuh gejolak yang sangat rentan terjadi ketidaksesuaian perilaku remaja dengan norma yang ada apabila berada di lingkungan pergaulan yang salah dan tidak mendapat pendampingan yang tepat dan baik dari orang dewasa khususnya orang tua dan keluarga.

 

 

Mustika Wardani
Mustika Wardani

Pembimbing  Kemasyarakatan Bapas Madiun