Keadilan dalam Pembagian Peran Pernikahan
Berita Baru Kalbar, Opini – Setiap pasangan menginginkan agar pernikahannya bisa mencapai tingkat kebahagiaan dengan perkawinan yang berkualitas. Dalam istilah lain lebih dikenal dengan kepuasan perkawinan. Hanya saja kepuasan dalam perkawinan tidak bisa didapatkan begitu saja setelah proses akad nikah, melainkan melalui usaha yang panjang dan tidak kenal lelah. Kualitas kebagian yang dimaksud juga bukan hanya dirasakan oleh salah satu pasangan saja, melainkan keduanya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Oslon & DeFrain, terdapat beberapa kriteria pasangan yang mempunyai peluang untuk berbahagia. Di antaranya baik suami maupun istri, keduanya merupakan individu yang mandiri dan matang. Selanjutnya, suami maupun istri tidak hanya mencintai pasangannya, namun juga mencintai diri mereka sendiri. Mereka paham kapan waktunya untuk sendiri dan bersama pasangan.
Saat sendiri baik suami dan istri dapat menikmatinya, sebagaimana saat bersama. Selanjutnya keduanya mapan dalam pekerjaan/aktivitas mereka. Keduanya mengenali diri mereka masing-masing sehingga dapat mengekspresikan diri secara asertif. Yang tidak kalah penting keduanya juga berteman, selain sebagai sepasang kekasih.
Namun, kerap kali hal-hal di atas kurang bisa diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga. Sebab, banyak pasangan yang nyatanya masih terjebak dalam pembagian peran yang belum seimbang. Hal ini karena konsep pembagian peran yang sudah sedemikian melekat melalui konstruksi sosial dan kultural yang sudah dianut oleh masyarakat.
Disadari atau tidak, masyarakat yang menganut peran gender tradisional seringkali mengistimewakan posisi laki-laki dibandingkan perempuan. Dampaknya, perempuan masih dipandang sebagai warga kelas dua. Selain itu, cara pandang masyarakat yang melihat perempuan dari peran gender cenderung memposisikan perempuan pada peran domestik saja.
Menurut Purbasari dan Lestari (2015), dalam budaya Jawa yang patriarki contohnya, salah satu ajaran yang menggambarkan peran istri dalam sektor domestik sebagai kanca wingking. Dalam bahasa Indonesia artinya teman belakang. Yaitu teman yang mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci. Istilah lain yang juga menggambarkan peran domestik perempuan adalah dapur, pupur, kasur, sumur.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Linawati, tentang kesejahteraan psikologis yang ditinjau dari sikap gender memperlihatkan pembagian peran yang ideal. Suami-istri yang membagi peran gender lebih egaliter adalah kelompok yang paling sejahtera secara psikologis. Peran gender egaliter adalah pergeseran dari peran gender tradisional. Dalam peran gender egaliter tidak ada dominasi antara laki-laki dan perempuan.
Lebih lanjut lagi dalam penelitian tersebut. Suami-istri dengan peran gender tradisional ternyata mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang paling rendah. Dalam peran gender yang egaliter, suami lebih bersedia menerima tanggung jawab yang lebih besar dalam
Sebenarnya, peran gender tidak menjadi sebuah masalah yang mendasar, dengan catatan berdiri di atas keadilan gender. Namun, realita yang kita hadapi tidak demikian, perbedaan gender nyatanya menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama adalah kaum perempuan. Bentuk ketidakadilan gender dijelaskan oleh Fakih (1999) yang termanifestasi dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotype, violence, dan double burden. Penjelasannya seperti di bawah ini.
Marginalisasi
Marginalisasi adalah proses peminggiran yang mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi bagi perempuan. Ada beberapa sumber proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender. Hal tersebut bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Contoh marginalisasi dalam keluarga terjadi dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan terkait pembagian peran domestik. Marginalisasi ini juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan, misalnya ada beberapa suku di Indonesia yang tidak memberikan hak waris kepada kaum perempuan sama sekali.
Subordinasi
Subordinasi adalah sikap, anggapan, atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting) dibandingkan laki-laki dan sekedar sebagai pelengkap kepentingan kaum laki-laki. Dalam relasi sosial, kaum perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksi secara sosial, yang selanjutnya terjadi dalam bentuk diskriminasi, seperti dalam pekerjaan. Contohnya, adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional. Sehingga menjadikan perempuan dianggap tidak cakap dan tidak layak menduduki posisi sebagai pemimpin.
Stereotype
Stereotype adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan sikap atau penilaian negatif. Salah satu jenis stereotype itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Ketidakadilan gender seringkali bersumber dari stereotype yang dilekatkan kepada jenis kelamin tertentu, terutama perempuan, misalnya, perempuan bersolek itu adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotype ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan, masyarakat malah cenderung menyalahkan korban.
Double Burden (beban ganda)
Banyaknya anggapan bahwa pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan, berakibat kaum perempuan harus menanggung semua beban pekerjaan domestik. Pemberian beban kerja ini dirasakan sangat berat bagi kaum perempuan. Terlebih bagi perempuan yang bekerja. Sebab, mereka selain dituntut mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga sebagaimana yang dipersepsikan, mereka juga harus menunjukkan prestasi kerja yang baik. Timbullah istilah “beban ganda” bagi perempuan pekerja. Sebaliknya, bagi laki-laki yang bekerja, tidak ada istilah “beban ganda”. Sebab, mereka pada umumnya memang tidak bekerja ganda karena mereka tidak dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, sebagaimana halnya perempuan.
Violence (kekerasan)
Kekerasan terhadap sesama individu dapat berasal dari berbagai sumber, terutama individu yang merasa superior. Namun, terdapat salah satu jenis kekerasan yang bersumber dari anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut dengan gender related violence. Praktek kekerasan tersebut lahir akibat dari pola relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan yang timpang yang dikonstruksi secara sosial.
Berbagai macam bentuk kekerasan terkait ketimpangan relasi ini sebagai berikut. Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk di dalamnya tindakan kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation).
Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Ketujuh, jenis kekerasan terselubung (molestation), yaitu memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan yang bersangkutan. Kedelapan, pelecehan seksual (sexual and emotional harassment).
Berbagai macam ketidakadilan gender ini memang tidak bisa serta merta dihilangkan dari masyarakat. Akan tetapi, paling tidak harus bisa dihilangkan dari institusi terkecil dari masyarakat yaitu keluarga. Artinya harus sudah ada pemahaman tentang relasi sosial yang seimbang antara laki-laki dan perempuan tanpa ada perasaan superior dan inferior.