Belajar dari Kasus Herry Wirawan
Berita Baru Kalbar, Opini – Tahun ini memiliki banyak kejutan dan ketegangan yang sangat luar biasa. Salah satu yang sangat menggelitik adalah hadiah hukuman mati yang diberikan oleh hakim bagi pemerkosa 13 santriwati di Bandung. Bermacam apresiasi timbul akibat putusan tersebut, dari yang memberikan acungan dua jempol hingga argumen yang meminta pengkajian ulang putusan tersebut. Faktanya, konsistensi hukuman pidana mati di dunia selalu kontroversial, baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawan maupun masyarakat.
Sebagai contoh, kita bisa melihat argumen Komnas Perempuan yang menentang hukuman mati pada Herry Wirawan. Alasannya, karena bertentangan dengan norma internasional hak asasi manusia yang paling dasar hak untuk hidup yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM). Pasal 3 DUHAM menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan adanya Pasal 6 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa hak untuk hidup bagi setiap insan dilindungi oleh undang-undang.
Apabila mengacu Pasal 4 UU 39/1999 yang menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, maka kasus hukuman mati terhadap “penjahat kelamin” tersebut secara normatif melanggar pasal tersebut.
Hukuman Mati di era kolonialisme dan modern
Kemudian, apabila menengok sejarah kelam kolonial, praktik hukuman mati di negara kita terjadi pada zaman penjajahan di masa kepemimpinan Daendels. Pada tahun 1808, hukuman menjadi wewenang gubernur jenderal Hindia Belanda. Strategi ini seringkali digunakan oleh kolonialis sebagai strategi untuk membungkam gelora nasionalis pejuang kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan di era modern saat ini, hukuman mati juga sudah banyak ditinggalkan. Meskipun begitu dalam mendapatkan putusan pidana mati, hakim sudah sangat mempertimbangkan dengan matang secara yuridis dan sosiologis agar vonis yang dijatuhkan dapat bermanfaat baik bagi terpidana maupun masyarakat.
Dalam Pasal 10 KUHP, pidana mati tercatat sebagai pidana pokok yang juga masuk dalam beberapa Undang-Undang lain seperti UU Narkotika, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU 31/1999 tentang Pidana Korupsi. Berbagai Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa pidana mati masuk dalam jenis pidana pokok.
Pasal 7 International Convenant on Civil and Political Right (ICCVR) menyatakan tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya. Selain itu, perlawanan terhadap hukuman mati juga diperkuat dengan Second Optional Protocol yang diatas namakan perjanjian internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Selain penjelasan di atas masih ada beberapa rujukan bagi pihak yang mendukung penghapusan hukuman mati di Indonesia dengan segala pro dan kontra nya terutama di sangkut-pautkan dengan kasus Herry Wirawan ini.
Pandangan lain terhadap hukuman mati
Lain ladang lain ilalang, lain orang juga lain referensi terhadap hukuman mati ini. Pendukung hukuman mati memiliki pandangan bahwa hukuman ini tidak melanggar hak hidup karena penghormatan atas hak hidup diterapkan dengan dasar penghormatan terhadap rasa keadilan seorang manusia. Sebagai contoh pada Pasal 9 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Di Indonesia, hal tersebut bisa kita lihat pada abortus provocatus medicinalis yang dilakukan pada bayi dengan pertimbangan yang sangat matang dari tim ahli kedokteran untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu. Dengan pertimbangan tersebut, menunjukkan bahwa pada kasus Herry dan janin ini, hak atas hidup dapat dibatasi dan diberikan pengecualian, yang artinya hukuman terhadap Herry Wirawan ini dianggap oleh pendukung hukuman mati boleh dilakukan. Di samping itu, hukuman mati tidak bertentangan dengan HAM dan merupakan sebuah pengecualian dengan pertimbangan yang sangat matang.
Dalam kasus ini keputusan hakim untuk pembayaran restitusi juga sangat penting bagi korban, karena hal tersebut merupakan hak korban dan merupakan kewajiban bagi Herry Wirawan untuk memulihkan kehancuran mental, sosial dan ekonomi yang dialami oleh korban. Restitusi ini dibebankan dari kekayaan pelaku sendiri. Akan tetapi apakah restitusi ini cukup untuk mengatasi pemulihan mental korban? Apakah cukup untuk menjaga keberlangsungan hidup dan pendidikan dari anak korban pemerkosaan tersebut hingga dewasa? Hal tersebut harus menjadi pertimbangan yang sangat matang bagi Hakim dalam mengambil keputusan.
Hal lain yang harus dipikirkan adalah setelah terpidana dieksekusi, maka anak-anak yang lahir dari korban pemerkosaan ini akan kehilangan sosok ayah mereka. Padahal di masa yang akan datang, mereka masih membutuhkan perawatan, pengasuhan serta kasih sayang dan sosok “ayah”, terlebih bagi anak yang belum terlahir dan masih berada dalam kandungan. Hal ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi hakim, karena dengan dijatuhkannya vonis tersebut, maka anak yang dilahirkan dari korban kekerasan seksual ini pada akhirnya akan menjadi anak yatim setelah Herry Wirawan telah di eksekusi.
Oleh karena itu, ending dari hukuman mati ini juga menjadi polemik tersendiri. Kita wajib menjaga agar asa masa depan dari anak-anak korban yang dilahirkan ini tetap menyala dan tidak akan pernah padam setelah “ayah kandung” mereka tiada. Kita semua tahu bahwa anak-anak ini pun, tidak bisa memilih nasib mereka untuk terlahir di dunia.
Pesan untuk Pembaca dari kasus ini
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, maka kiranya penulis tetap memberikan kesempatan bagi pembaca untuk melakukan kajian terhadap masalah hukuman mati terhadap kasus ini ataupun kasus yang akan datang dengan memperkaya khasanah keilmuan melalui budaya literasi. Penulis sadar bahwa setiap keputusan yang diambil oleh seorang hakim merupakan buah cipta pemikiran yang bisa dipertanggung jawabkan secara hukum. Hal tersebut dikarenakan, dalam konsep adjudikasi, hakim tunduk dalam tatanan hukum dan mereka terikat pada perundang-undangan yang berlaku.
Penulis merupakan PNS, Dosen di Universitas Anwar Medika, Penulis Buku, Inovator Pegiat sosial yang saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Maarif Hasyim Latif serta Mahasiswa di Magister Ilmu Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah Surabaya. Penulis juga aktif dalam menulis jurnal terakreditasi nasional dan internasional.