Persepsi | Cerpen: Sriwiyanti
Mamet menutup mushaf dengan tergesa-gesa, sebab rasa kantuk yang tak bisa ditunda. Waktu Subuh adalah yang paling ia benci dari lima jadwal sholat berjamaah yang ditetapkan pondok pesantren. Sudah bacaan imamnya panjang-panjang, belum lagi ceramah pak kyai, dan murojaah hafalan Al-qur’an. Rutinitas itu membuat Mamet merencanakan hal-hal besar setiap malam, misalnya memberi obat tidur kyai Mushtofa supaya Subuh berjamaah kebablasan, atau rencana paling besarnya adalah membakar masjid di sepertiga malam. Lalu kembali tidur nyenyak ke kamar.
Subuh itu pun masih sama, Mamet bangkit dari kasur tipis, menggaruk-garuk badannya yang cungkring tanpa sehelai baju, mata sembab mengerjap-ngerjap lalu berjalan mengambil gayung berisi perlengkapan mandi, terseok-seok menuju antrean paling belakang, mengerubungi kamar mandi bagai semut. Tak sampai satu menit ia berdiri, matanya tiba-tiba terbuka lebar setelah gayung berisi sabun batang, sampo saset lima ratus perak, dan sikat gigi berbulu keras, berserakan karena tubuhnya terhuyung menyentuh tanah. Padahal, sedikit lagi mimpinya sampai klimaks.
“Sialan,” pekiknya, terkaget-kaget oleh kantuknya sendiri. Teman-teman yang mengantre di depannya pun sama. Bahkan, mereka hampir tak menyadari teriakan Mamet, sebab gelombang otak sudah tidak mencerna realita.
Tepat sebelum suara ikamah berakhir, Mamet mendarat dengan selamat di shaf paling belakang. Ia kapok terkena sidang mendadak dari ustaz yang berkeliling di setiap sudut asrama, koridor, kamar tidur dan tak ketinggalan kamar mandi, bahkan bila perlu di langit-langit kamar tidur yang kadang dipakai untuk menyembunyikan ponsel para santri. Dan hukumannya tak tanggung-tanggung, membersihkan seluruh kamar mandi selama sepekan.
Pada sajadah tempat imam, berdiri kyai Musthofa dengan jubah putih beserban hijau, membaca surat Al-fatihah dengan suara lembut nan merdu. Punggungnya sedikit membungkuk termakan usia. Di belakangnya, berbaris rapi dan rapat ustaz Ma’ruf, ustaz Mu’in, ustaz Sholeh, dan santri senior nan teladan, yang biasanya membangunkan santri-santri lain. Kemudian Mamet di shaf paling belakang, lengkap dengan cap santri tanpa prestasi, tanpa hal positif yang menonjol. Selain kemampuan tidur cepat dan bangun terlambat.
Dari semua hal yang Mamet temui di pondok, sejak ia diantarkan Bibi Marni setahun lalu, sebab ia yatim piatu. Ada satu hal yang membuat Mamet sedikit betah, yaitu ustaz Sholeh. Berjiwa muda, dekat dengan santri, nyentrik, bahkan memahami gejolak hatinya untuk tidur barang lima menit saja selepas Subuh. Dan yang paling penting, ustaz Sholeh tidak jarang melawan aturan.
Suatu hari, ustaz Sholeh pernah menjadi imam sholat Subuh dan membawa jama’ahnya sujud hampir setengah jam, dengan suara mendengkur yang samar-samar. Lalu segera bertakbir dan duduk tahiyat sebab terkaget-kaget, oleh suara kentut Mamet yang bermimpi melemparkan bom di depan asrama. Sungguh, sholat Subuh dan tidur berjamaah terlama, dan paling dirindukan para santri.
Hebatnya lagi, ustaz Sholeh juga kadang absen mengisi shaf sholat Subuh berjamaah. Sekali, dua kali, bahkan hingga tak terhitung jumlahnya. Kemudian desas-desus menyebar di kalangan para santri, Pembina, dan ustaz. Beragam jenis cerita beredar, salah satunya ustaz Sholeh ketiduran di kamar mandi, cerita ini dipatenkan oleh Karim, si pembual dan tukang fitnah seantero pesantren. Hanya Kyai Musthofa yang selamat dari mulut berbisanya.
Baca Juga: Anak Wayang Cerpen Sriwiyanti
Demi gejolak rasa penasaran yang harus dituntaskan. Pagi itu Mamet berjalan tergesa-gesa menuju kelas. Tanpa menggunakan alas kaki, ia mendekap erat sebuah buku catatan berwarna hijau, dan kitab adabul al-‘alim wal muta’allim. Pada saku baju pramukanya terselip pulpen pilot berwarna hitam, senada dengan warna peci yang bertengger di kepala. Jalan setapak dari pondok menuju madrasah dihiasi daun-daun rimbun bunga sepatu, lalu aroma melati menyeruak begitu melintas di halaman masjid, minyak wangi khas kyai Musthofa yang tengah melaksanakan sholat Dhuha.
“Ustaz, ada yang ingin saya tanyakan.” Setiba di koridor kelas, Mamet menunduk hendak mencium tangan ustaz Sholeh, yang langsung ditolak.
“Silakan, silakan.” Ustaz Sholeh merangkul Mamet memasuki ruang kelas.
“Maaf, Ustaz. Pagi tadi kok saya tidak melihat ustaz di masjid?”
Ustaz Sholeh tertawa, memperlihatkan deretan gigi berwarna putih yang kontras dengan kulitnya. “Kenapa Mamet, kamu pengen ndak sholat jamaah juga?”
“Penasaran saja, Ustaz.” Mamet nyengir kuda.
“Sholat jamaah itu dianjurkan, Met, sholat itu bersifat sosial bukan individual. Sholat itu bukan hanya urusan dengan Tuhan, tapi juga dengan teman. Senasip gitu, lho. Sama-sama makhluk. Ben awakmu eling, jadi manusia tidak boleh punya rasa lebih tinggi daripada yang lain.”
“Lha, Ustaz kan juga ndak sholat.” Mamet cengengesan.
“Lah, saya itu kan, Ustazmu.” Ustaz Sholeh tertawa, meninggalkan Mamet termangu di kelasnya.
***
Keanehan ustaz Sholeh bukan hanya pada urusan sholat Subuh berjamaah. Tapi kegandrungannya pada selebritis yang notabene idola para santri. Bahkan, ustaz Sholeh wara-wiri sambil membawa buku tulis bersampul Via Vallen, penyanyi dangdut yang tengah naik daun itu. Hal ini tentu membuat jengah ustaz lain. Sebab ustaz Sholeh memberi contoh yang tidak-tidak, bukan yang alim dan berwibawa seperti mereka mengecap dirinya.
Desas-desus panas pun beredar luas. Lagi-lagi, biang keroknya adalah Karim. Dengan cepat, ia telah mempatenkan cerita tentang ustaz Sholeh yang belum menikah di usia yang tak lagi muda, kepala tiga. Kabarnya, selera ustaz Sholeh telah terpaut pada Via Vallen. Terlalu tinggi dan terlalu aduhai untuk seorang laki-laki macam ustaz Sholeh.
Mendengar cerita dari pembual ulung Karim. Mamet kembali berlari menuju kelas ustaz Sholeh. Semangatnya menggebu, bahwa ada laki-laki lain yang juga sering memimpikan Via Vallen selain dirinya. Mamet memang yakin seratus persen, bahwa ustaz lain juga terkena virus yang sama. Hanya saja, histori pencarian mereka bersembunyi di balik pola kunci ponsel pintar.
“Ustaz, Ustaz…” Mamet ngos-ngosan setelah berlarian dari asrama putra.
“Ada apa, Met?” ustaz Sholeh mengernyitkan dahi. Sementara Mamet melirik ustaz Sholeh yang kembali sibuk mencoret-coret dengan tulisan arab pegon, pada buku catatan bersampul Via Vallen tengah memegang mikrofon.
“Itu Ustaz, itu…” Mamet menunjuk ke arah buku.
“Apa, Met?”
“Ustaz suka Via Vallen?”
“Oh, itu… Iya pasti suka. Iya pasti cinta. Wong sama-sama manusia, sama-sama muslim. Masa benci? Masa dipisuhi?”
“Lah, njenengan mengidolakannya?”
“Idola itu cuma Kanjeng Nabi.”
“Lah kenapa sampul buku njenenengan Via Vallen, Ustaz?”
“Memang kamu pernah lihat buku tulis yang sampulnya ada foto Kanjeng Nabi?”
Ustaz Sholeh tertawa, Mamet kembali ke tempat duduknya.
***
Puncak dari semua keanehan ustaz Sholeh, adalah ketika Kyai Musthofa berencana merenovasi masjid. Malam itu, kyai Musthofa duduk bersila di tengah halaqoh, memerintahkan semua elemen pondok untuk melakukan kerja bakti esok hari. Termasuk santri, pembina, hingga ustaz, harus bahu-membahu mengangkat batu-bata, semen, pasir, kayu dan air untuk tiga orang tukang bangunan yang bekerja. Semua orang mengamini perkataan kyai dengan anggukan dalam, kecuali ustaz Sholeh yang berdiam di sudut masjid dan sesekali menguap.
Keesokan harinya, ketika semua orang tengah sibuk bekerja, ustaz Sholeh berjalan ke tempat parkir di samping masjid. Mengeluarkan kunci, menyalakan motor bebek yang mengeluarkan suara meletup-letup. Motor butut itu bergerak melewati puluhan orang yang tengah kerja bakti di bawah pengawasan kyai Mushtofa. Wajah geram ustaz lain tak bisa disembunyikan. Mata pelajaran adab yang diampu ustaz Sholeh, tak sedikit pun tercermin dalam perilakunya.
Di seberang masjid, Mamet tengah membawa seember semen bercampur pasir, melongo menatap kepergian ustaz Sholeh melewati kerumunan. Tak sampai hilang punggung ustaz Sholeh di balik gerbang kayu, Mamet melepas ember di tangannya, berlari mengejar sambil berteriak.
“Ustaz… Tunggu Ustaz…”
Semua mata berhenti bekerja, dengan tubuh penuh noda semen kering dan percikan air. Mamet terus berlari mengejar motor butut.
“Ada apa, Met?”
Ustaz Sholeh menoleh, menatap Mamet yang langsung naik ke motornya tanpa meminta izin terlebih dahulu.
“Saya mau ikut, Ustaz, ada yang perlu dibeli di luar pondok.” Mamet menggaruk kepala, mengarang cerita.
“Aku tak ke warung makan dulu, baru ngantar beli keperluanmu.” Ustaz Sholeh kembali menyalakan motor. Menyisakan asap pada segerombolan ustaz berwajah masam.
***
“Njenengan kenapa ndak ikut kerja bakti, Ustaz?” Mamet menatap penuh tanya, usai menyeruput teh tawar yang dipesankan ustaz Sholeh.
“Kamu sering bertanya ke saya, Met, kenapa begini kenapa begitu,” ustaz Sholeh tersenyum.
Sesaat kemudian, pelayan di warung membawakan lima gelas kopi hitam, empat piring nasi, empat ekor ikan nila goreng, dua piring pecel kangkung dan tauge, tumis kacang panjang, tempe bacem, dan sepiring kerupuk pedas. Mamet yang melihatnya terkaget-kaget. Meski suara di perutnya tak tahu diri.
“Ini harus dihabiskan, Met. Kamu jarang makan enak, kan.” Ustaz Sholeh tertawa, sambil mendorong piring-piring tersebut ke hadapan Mamet.
“Siap, Ustaz.” Mamet bersemangat.
“Njenengan belum menjawab pertanyaan saya, Ustaz.” Mamet berbicara sambil membersihkan duri ikan nila yang berserakan.
“Warung kecil ini punya istri tukang bangunan yang dipekerjakan kyai Musthofa, Met.”
Mamet melirik ke kiri dan ke kanan. Warung kecil itu berukuran tiga kali empat, temboknya menggunakan terpal yang diikat pada bambu di setiap sudut. Atapnya hanya sebilah seng tipis yang tembus panas. Tak ada pengunjung selain mereka berdua. Pelayannya adalah seorang anak kecil berusia sekitar sepuluh tahun. Rambutnya di kepang dua, dengan celemek yang menempel di badannya yang kurus kering. Ia cekatan menyambut nampan yang diberikan Ibunya, dengan perut besar seperti hendak meledak.
“Itu istri tukang bangunan, mau melahirkan. Butuh kerjaan Met, dan tenaga kita hanya akan memperpendek masa kerja mereka. Dua tukang bangunan lainnya itu tetanggaku, mereka maling Met. Kalau di sana tiap hari, bisa ikut mendengar ceramah kyai Musthofa, ikut jamaah lima waktu.”
Mamet mengangguk mafhum. Lalu melanjutkan pertanyaan.
“Terus yang itu, Njenengan benar suka Via Vallen, Ustaz?”
“Buku itu dibelikan ibuku di pasar, Met. Beliau berpesan untuk dipakai menulis hal-hal baik. Ya aku pakai.”
Anggukan Mamet bertambah dalam.
“Terus, Njenengan juga beneran ketiduran di kamar mandi pas subuh, Ustaz?” Mamet menggaruk kepala yang tak gatal, ia tahu pertanyaan itu kurang ajar. Sebuah pertanyaan yang tak mungkin ia ajukan pada ustaz lain.
“Oh itu… Heran… Kadang ada saja hewan-hewan yang jatuh di air, banyak, lagi. Nek engga laba-laba cilik, semut hitam di pohon mangga samping kamar mandi itu, lho. Banyak yang nunggu uluran tanganku, Met. Ndilalahe pas lagi ikamah, kalau akau tinggal, ya, innalillahi…”
Mamet mengangguk dalam, lebih dalam dari anggukannya pada ceramah kyai Musthofa setiap subuh.