Perang Ukraina-Rusia Sebabkan Harga Komoditas Dunia Meroket?
Berita Baru Kalbar, Internasional – Indeks Biaya yang dikeluarkan oleh PBB pernah hampir mencapai puncak tertinggi pada tahun 2011, sebelum perang terjadi di wilayah Laut Hitam, yang dikenal dengan julukan Lumbung Pangan Dunia.
Semenjak saat itu, harga biji-bijian dan minyak sayur menanjak, melebihi harga tertinggi sebelumnya, hal ini memberikan tekanan inflasi lebih lanjut pada konsumen dan pemerintahan dunia, serta memperburuk masalah kelaparan di seluruh dunia.
Sementara itu, minggu lalu, Reuters melaporkan bahwa “Harga bahan makanan memecahkan rekor tertinggi pada Februari lalu, diawali oleh peningkatan harga dari minyak nabati dan produk susu sebesar 20.7% dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini disampaikan oleh Badan Pangan PBB.”
Irina Anghel dan Megan Durisin, melaporkan melalui Bloomberg pada sabtu (5/2/2022) lalu bahwa, “pertempuran di wilayah Laut Hitam yang subur, dan embargo oleh beberapa negara kepada Rusia, membuat lonjakan pada harga minyak nabati, jagung dan pupuk-yang digunakan untuk menanam komoditas tersebut, menyebabkan harga menjadi lebih mahal dari hari ke hari. Harga makanan sudah berada di rekor tertinggi, dan sekarang perang akan membuat harga tersebut semakin parah.”
Ukraina dan Rusia tidak hanya menjadi pemasok utama bagi komoditas gandum, jagung dan jelai, tetapi mereka juga menguasai 75% ekspor dunia untuk komoditi minyak bunga matahari-salah satu dari empat (4) komoditi minyak nabati utama dunia. Hal ini membuat pasar global yang ketat, menjadi semakin ketat, ikut mengangkat harga minyak sawit dan minyak kedelai menyentuh rekor harga tertinggi yang pernah tercatat.
Hal ini tidak akan kita lalui dengan mudah, karena negara pemasok minyak nabati lainnya sedang berjuang untuk mengatasi permasalahan mereka sendiri.
Kanada dilanda bencana kekeringan tahun lalu, Brazil dan Argentina juga mengalami penurunan produksi panen kedelai, Malaysia menderita karena kekurangan pekerja di perkebunan kelapa sawit, sehingga mengalami penurunan produksi CPO, dan ditambah Indonesia telah memberlakukan pembatasan ekspor CPO untuk mengamankan pasokan domestik.
Akibatnya, harga empat minyak nabati utama, sawit, kedelai, bunga matahari dan kanola melambung tinggi, dan ini memberi efek domino kenaikkan harga pada hal-hal lainnya.
“Harga CPO sendiri, dimana CPO menguasai sepertiga market pemenuhan minyak nabati dunia, telah meningkat hingga dua (2) kali lipat sejak pertengahan Juni 2021, sementara minyak kedelai meningkat 50%. Minyak bunga matahari dari Ukraina juga naik sekitar 50%, menaikkan juga harga minyak kanola” dilansir dari UkrAgroConsult.
Rod Nickel, Reuters, melaporkan “Invasi Rusia kepada Ukraina, dimana Ukraina adalah salah satu penghasil roti terbesar di dunia, telah mendorong harga gandum ke level tertinggi selama 14 tahun belakangan, dan yang menjadi korban selanjutnya dari peperangan ini adalah konsumen roti.”
Bagaimana Indonesia menyikapi kenaikan harga minyak nabati, salah satunya CPO, akan menentukan riak di dalam negeri. Kelangkaan minyak goreng yang terjadi di Indonesia, sudah berlangsung selama 4 bulan, tanpa ada tanda-tanda perbaikan situasi.
Faisal Basri, berpendapat bahwa “salah satu faktor penting yang menyebabkan harga minyak goreng yakni pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Pada masa lalu, pengguna CPO yang sangat dominan di dalam negri adalah industri pangan (termasuk minyak goreng). Namun, semenjak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik.”
Alokasi CPO untuk industri pangan yang cenderung stagnan, kontras dengan pemenuhan industri energi (biodiesel) yang terus meningkat tajam. Sistem kerjasama sure-buy yang diterapkan pemerintah kepada produsen biodiesel, ditambah lagi pemberlakuan subsidi jika harga domestik lebih rendah dibandingkan harga intersaional, semakin memperparah stabilitas harga minyak goreng di Indonesia.
Belum lagi skema penimbunan para pebisnis nakal yang menunggu dicabutnya kebijakan HET minyak goreng dan pengungkapan akan adanya stok ketahanan minyak goreng dalam negri yang dijual ke industri dan luar negri, semakin memperparah keadaan.
Pemerintah dituntut untuk hadir dalam permasalahan dan pengambilan keputusan yang bersifat masif ini. Ketika negara-negara lain sudah memulai untuk memperkuat ketahanan dalam negri masing masing, pakah langkah yang diambil akan menjadi sebuah oase dahaga minyak goreng domestik, atau menjadi sumber pendapatan segar atas nama devisa negara. (YOA)