Pandemi, Kerinduan, dan Kehilangan di Penjara
Pendemi telah menanamkan rasa kehilangan bagi banyak orang, tidak terkecuali para narapidana. Selain dihilangkan panjangnya masa pidana, para narapidana pun kehilangan sentuhan keluarga dalam proses pembinaannya. Hasilnya, program pembinaan kepribadian di dalam lapas/rutan menjadi kering karena interaksi tatap muka dengan keluarga menjadi tiada.
Saya teringat jadwal kunjungan keluarga bagi narapidana saat sebelum pandemi. Memang jadwal kunjungan untuk narapidana berada di hari aktif bekerja (bukan weekend). Alasannya agar waktu libur dapat digunakan sebagai kesempatan istirahat bagi narapidana setelah sepekan menjalani berbagai macam kegiatan pembinaan (termasuk kunjungan tamu). Ada banyak orang luar yang datang, mungkin keluarga, kerabat, ataupun tetangga dari narapidana.
Semua yang hadir tampak gembira, baik pengunjung maupun yang dikunjungi. Senyum merekah menghiasi wajah mereka. Canda dan tawa menambah renyah suasana. Atmosfer kebahagiaan terasa sekali, paling tidak tergambar dari wajah-wajah senang para pengunjung dan narapidana.
Pemandangan unik pun banyak terjadinya. Ada narapidana yang sedang disuapi oleh pengunjungnya (bisa jadi istrinya). Ada pula narapidana yang bertato full badan sedang menangis tersedu-sedu dalam pelukan seorang wanita. Saya menduga kuat itu ibunya. Ada juga beberapa anak muda yang asyik ngobrol dengan salah seorang narapidana, kemungkinan itu teman mereka nongkrong ketika sebelum ditahan.
Sungguh tidak tampak gambaran suram penjara ketika berada di situasi seperti ini. Orang-orang bersuka ria. Saling menyalurkan kerinduan yang terbatasi oleh dinding peraturan. Bukan menafikan kesalahan yang telah mereka perbuat, tetapi ketika melihat situasi mereka ini (napi dan pengunjungnya), bolehlah sekiranya kita melupakan sejenak status mereka. Sebab, memperoleh kesempatan saling melepas rindu dengan orang-orang terkasih adalah hak abadi setiap manusia.
Memerdekakan Rindu
Situasi tersebut mengingatkan saya pada saat menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren di Yogyakarta. Ketika jadwal kunjungan tiba, tepatnya pada hari Jumat, orang tua santri ramai berkunjung ke asrama. Mereka mengunjungi putra-putranya yang sedang berjihad di jalan Allah dengan belajar. Ada santri yang menangis karena rindu orang tua. Ada pula yang sedang disuapi jajanan oleh ibunya. Bagi yang orang tuanya jauh biasanya mengobati kerinduan dengan saling bertelepon. Tidak jarang ada yang menangis tersedu-sedu saking rindunya dengan orang tua, termasuk saya.
Awalnya saya berfikir kebebasan itu mahal harganya. Entah dengan alasan baik atau tidak, kemerdekaan yang dibatasi sangat tidak enak dirasakan. Saat menjadi santri, banyak tindak tanduk yang dibatasi tidak seperti anak seumurannya yang bersekolah non-pondok. Kegiatan sewajarnya anak remaja mendapatkan pengawasan yang cukup ketat, seperti menggunakan handphone, bermain ke warnet, dan lain-lain. Bahkan sebagian santri melabeli pondoknya dengan istilah “Penjara Suci” karena merasa seperti hidup di penjara, bukan karena kejahatan tapi untuk belajar kebaikan.
Namun, setelah bertahun-tahun lulus saya menyadari bahwa pembatasan atas beberapa hak tersebut memiliki dampak dan manfaat yang sangat besar di masa yang akan datang. Tekad dan mental diasah dengan berbagai batasan berupa peraturan-peraturan yang membangun karakter pejuang agar tangguh menghadapi tantangan kehidupan. Meskipun realita kehidupan tidak sesederhana di pondok pesantren, paling tidak para santri dibiasakan sejak dini dengan keadaan yang membuatnya harus mandiri dalam menghadapi pelbagai persoalan.
Dengan tujuan sebaik itu, saya tetap merasa terkungkung dan merasa tidak enak ketika dibatasi. Tak terbayangkan para narapidana yang sekarang di penjara. Bagaimana kesukaran yang mereka rasakan, meskipun itu akibat tindakan mereka sendiri.
Dorongan Pemulihan Di Masa Pandemi
Selain untuk menyalurkan rindu, kunjungan tatap muka bagi narapidana memiliki makna penyembuhan dan kebahagiaan. Berdasarkan konsep pemenuhan kebutuhan hidup manusia, Maslow (dalam Feist & Feist, 2016) membuat hirarki kebutuhan yang tersusun dari lima kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan dan keselamatan, kebutuhan cinta dan keberadaan, kebutuhan penghargaan diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi dengan baik, maka individu akan merasa tidak bahagia. Sarwono, (dalam Susanti & Maryam 2013) menambahkan bahwa semakin tinggi seseorang mendapatkan pemenuhan kebutuhannya maka semakin tinggi pula derajat kebahagiaan seseorang, hal ini terkait dengan apa yang diinginkannya, apa yang telah diperolehnya, dan apa yang dimiliki oleh orang-orang yang berhubungan dengannya. Dengan kata lain, kebahagiaan terjadi setelah kebutuhan terpenuhi dan apa yang menjadi tujuannya tercapai karena kebahagiaan merupakan tujuan akhir dari seluruh aktivitas.
Perasaan bahagia serta adanya kepuasan hidup dan realisasi inilah yang disebut kesejahteraan psikologis. Menurut Corsini (dalam Hardjo & Novita 2015), kesejahteraan psikologis adalah suatu keadaan subyektif yang baik, termasuk kebahagiaan, self-esteem, dan kepuasan dalam hidup.
Bagi narapidana, kesejahteraan psikologis merupakan kondisi yang penting agar dapat tetap menjalani kehidupannya dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki bahkan setelah kembali ke masyarakat nanti. Dan itu didapat dengan mempertemukan mereka dengan keluarga selama masa pembinaan di penjara.
Melihat kehangatan suasana saat kunjungan narapidana dulu, menyadarkan saya bahwa kesukaran dari keterkungkungan adalah tidak bisa menyalurkan rindu. Dan karena rindu pulalah orang akan benar-benar berubah. Bahkan bisa membuat seseorang melakukan hal yang tidak biasa mereka lakukan. Karena rindu jugalah para narapidana di penjara mau memeluk ibu mereka dengan tangisan tersedu-sedu. Apalagi disuapi oleh istri di depan banyak orang. Paling tidak, karena rindu ada perubahan yang dialami. Entah penyesalan, perenungan, atau bahkan motivasi untuk berbenah lebih baik lagi hingga pulih.