Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ilustrasi Mahasiswa
Ilustrasi Mahasiswa. (Bentaracampus)

Kecerdasan Sosial dan Emosional: Kunci Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru



Oleh: Mujib

Dosen Politeknik Negeri Pontianak

Setiap tahun ajaran baru, ratusan ribu mahasiswa baru bersiap melangkahkan kaki menuju perguruan tinggi dengan penuh harapan ambisi, sekaligus ketidakpastian. Kebanyakan dari mereka, utamanya yang baru pertama kali hidup jauh dari keluarga, masa transisi ini menjadi sebuah tantangan besar. Tidak sedikit yang mengalami gegar budaya, kesulitan dalam berinteraksi sosial, bahkan sampai kehilangan semangat dalam belajar. Dalam konteks ini, penyesuaian diri menjadi salah satu kunci yang menentukan apakah seorang mahasiswa dapat bertahan dan berkembang atau justru memilih menyerah di tengah jalan.

Penyesuaian diri mahasiswa baru bukan hanya sekedar kemampuan kognitif atau akademik semata. Dari hasil penelitian yang saya lakukan terhadap mahasiswa baru program studi Diploma 4 Teknik Mesin Politeknik Negeri Pontianak, ditemukan bahwa kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional memiliki peran signifikan dalam membantu mahasiswa melewati masa-masa awal perkuliahan. Mereka yang memiliki kemampuan mengelola emosi dan menjalin relasi sosial yang sehat cenderung lebih adaptif, stabil secara psikologis, dan lebih mampu menghadapi tekanan akademik maupun sosial.

Lebih dari Sekadar Pintar

Dalam dunia pendidikan tinggi, masih sering ditemui anggapan bahwa keberhasilan mahasiswa ditentukan oleh kemampuan kecerdasan intelektual semata. Nilai ujian, IPK, atau kecepatan menyelesaikan tugas menjadi tolok ukur utama. Padahal, kecerdasan emosional—kemampuan untuk memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara tepat—serta kecerdasan sosial—potensi kemampuan atau keterampilan non kognitif dalam menjalin hubungan dengan individu lain, mengerti individu lain dan bertindak dengan tepat serta selaras dengan nilai-nilai dalam interaksi antar individu—merupakan bekal penting yang sering terabaikan.

Mahasiswa baru yang belum mampu dalam mengelola stres dengan baik, tidak dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, atau mengalami kesulitan memahami dinamika sosial di lingkungan kampus, memiliki risiko mengalami isolasi sosial, burnout, bahkan depresi ringan. Gejala semacam ini tidak selalu terlihat, akan tetapi sangat berpengaruh terhadap semangat belajar dan keterlibatan mereka dalam beragam kegiatan akademik maupun non akademik.

Konteks Vokasi dan Dunia Nyata

Dalam konteks pendidikan kampus vokasi seperti Politeknik, ragam tantangan yang berkaitan dengan penyesuaian diri juga cukup unik. Program studi teknik mesin, misalnya, sering diasosiasikan dengan pola pendekatan pembelajaran yang kaku, teknis, dan fokus pada praktik di lapangan. Padahal, jika dicermati dengan seksama, mahasiswa tetaplah individu yang perlu diakui sisi-sisi manusianya.

Pola pembelajaran pada bidang teknik khususnya bidang teknik mesin penekanan utamanya adalah pada kemampuan logika, tingkat presisi, serta kecepatan dalam berpikir. Akan tetapi, dunia kerja saat ini memiliki tuntutan yang lebih dari itu diantaranya adalah kemampuan dalam kerja tim, kemampuan komunikasi interpersonal serta kemampuan dalam menyelesaikan konflik atau masalah secara konstruktif. Dalam konteks ini kemapuan kecerdasan sosial serta kecerdasan emosional bukan hanya sangat dibutuhkan di awal masuk kuliah, namun juga menjadi dasar kesuksesan seorang mahasiswa dalam mencapai karier di masa yang akan datang.

Menumbuhkan Kecerdasan Sosial dan Emosional

Berangkat dari temuan temuan dan fakta-fakta yang terjadi, ada kebutuhan yang cukup mendesak untuk mengintegrasikan pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial dalam lingkungan kampus, tidak hanya sebagai tambahan kegiatan kemahasiswaan, namun juga sebagai bagian dari strategi pendidikan karakter yang dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 2012 amanah tersebut diberikan kepada mata kuliah wajib salah satunya adalah mata kuliah Pancasila. langkah-langkah nyata yang dapat dilaksanakan diantaranya adalah pelatihan soft skills dan emotional literacy di awal masa orientasi mahasiswa baru, pendampingan psikologis atau mentoring oleh mahasiswa senior untuk membantu mahasiswa baru membangun jaringan sosial dan penerapan pedagogi yang empatik dan komunikatif oleh para dosen, termasuk dalam mata kuliah wajib kurikulum seperti Pancasila, untuk mengangkat isu-isu kehidupan dan nilai-nilai sosial secara kontekstual.

Peran dosen juga sangat penting, bukan hanya sebagai pengajar yang mengajarkan kemampuan akademik, akan tetapi sebagai fasilitator dalam pembentukan karakter mahasiswa. Melalui pola pendekatan pedagogis yang reflektif dan humanis, mahasiswa dapat merasa didengar, dipahami, serta dilibatkan dalam proses pembelajaran secara lebih utuh.

Pendidikan sebagai Penguatan Manusia

Pendidikan tinggi khususnya pendidikan tinggi vokasi sudah seharusnya tidak hanya menjadi ruang akademik, akan tetapi harus menjadi ruang tumbuh kembangbagi pikiran hati dan relasi sosial, mengingat pendidikan vokasi sangat menekankan hubungan yang mesra dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Membangun mahasiswa yang adaptif, resilien, dan punya empati tidak bisa dilakukan dalam ruang kuliah yang hanya menuntut nilai. Akan tetapi butuh cara pandang baru, bahwa penyesuaian diri mahasiswa adalah hasil dari sistem pendidikan yang peduli pada sisi psikologis dan sosial mahasiswa.

Jika kampus berkeinginan melahirkan alumni atau lulusan yang tidak hanya cakap secara teknis, naun juga matang secara emosi dan sosial, maka investasi paling awal yang perlu dilakukan adalah di hari-hari pertama mereka masuk kuliah. Dan itu, sepenuhnya, adalah tanggung jawab dosen, pengelola, dan seluruh ekosistem kampus secara bersama-sama.

Kepemimpinan Spiritual Pancasila - Mujib, M.Si, Dosen Politeknik Negeri Pontianak.
Mujib, M.Si, Dosen Politeknik Negeri Pontianak.