Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Gagak

KARASU (BURUNG GAGAK)* | Je Prakoso



KARASU (BURUNG GAGAK) – Ia mulai bersinar, tapi sinar itu bukan untukku. Kata orang-orang, cahaya matahari di pagi hari menyehatkan. Itu juga sebuah dongeng untukku. Tak pernah ada, tak pernah nyata. Karena bagiku setiap pagi sama saja, bagaikan matahari dengan gerhana. Sinarnya melukaiku.

Setiap pagi, aku bangun dalam keadaan yang sama. Masih dengan baju itu-itu saja. Utuh dengan perlengkapan kemarin. Tapi bukan, bangunku bukan untuk mengejar cita-cita, tapi karena rasa lapar. Bajuku juga bukan seragam anak sekolahan, tapi kaos dekil yang banyak lubang dan tambalan.  Dan perlengkapanku bukan buku atau pensil di dalam tas, namun rasa belas kasih.

Kalian tahu, kenapa sinar matahari melukaiku?

Saat anak-anak seusiaku berangkat ke sekolah dengan riang, aku harus meminta belas kasih dari satu orang ke orang lain. Terkadang cukup dengan mengangkat tangan, mereka memberiku seribu atau dua ribu. Namun tak jarang, aku harus menyanyikan sebuah lagu dengan gitar usangku. Dan saat itu sinar matahari menusuk-nusuk kulit ini. Ditambah panas jalan beraspal, kendaraan lalu-lalang, dan polusi. Jika kalian perhatikan, tak ada bedanya mana bajuku, mana kulitku. Keduanya sama-sama hitam dan suram.

Aku memiliki julukan. Orang-orang menyebutku anak jalanan. Tapi aku lebih senang disebut “Karasu”, seekor burung gagak. Bukan karena memiliki warna yang sama-sama hitam. Jauh lebih menyedihkan dari itu.

Kami hidup bersama dalam kesedihan. Seperti yang kalian tahu, burung gagak hidup bersama dengan yang lain. Tapi hidupnya tak jauh dari air mata dan hina. Bukankah bangkai sekalipun mampu ia telan. Lalu apa bedanya denganku yang setiap hari mengais makan dari tempat sampah, sisa makanan orang-orang. Tak jarang yang kudapatkan adalah nasi basi. Bukankah ia bagai bangkai dari orang-orang yang tak peduli.

Satu lagi yang harus kalian tahu, aku tak sendiri. Orang-orang di sekelilingku sama saja. Seperti itu cara hidupnya. Ya, kami banyak jumlahnya. Dan di situ kami hidup bersama dalam kesedihan. Tanpa kepedulian.    

Alasan lain mengapa aku menyebut diriku burung gagak karena musuhku di mana-mana. Di mata ini tergambar jelas cerita kemarin. Saat aku mencari sesuap nasi di jalanan untuk mengganjal rasa lapar. Mereka mencaci, menghina, mencela, dan mengeluarkan sumpah serapah. Mereka bilang aku anak jalan yang bau, dekil, kerdil, tak mau bekerja, mau enaknya sendiri dengan meminta-minta. Sama seperti seekor gagak yang dibenci orang karena kedatangan. Ia dianggap pembawa sial, musibah, dan kematian. Padahal ia hanya mencari makan.

Sama seperti gagak yang bersuara serak. Mendengar suaranya saja mereka menimpuki dengan batu. Sedang saat mendengar suaraku mereka bersembunyi. Pura-pura bersikap tuli. Dan mereka semua adalah musuh-musuhku, orang yang duduk nyaman di dalam mobil, menggunakan jas kantoran.

Aku menangis atau tertawa sekalipun tak ada yang tahu. Siapa peduli, kataku pada diri sendiri. Mereka mau memberi uang receh saja sudah beruntung. Dan saat itu aku membalas dengan senyum terbaik. Tapi sekali lagi siapa peduli dengan senyum itu. Toh mereka memberi recehnya karena terpaksa, malu pada orang yang melihat. Malu dikatakan orang kaya yang tak memiliki rasa peduli pada sesama.

Dan jika kalian tahu di balik senyum itu tersimpan tangisan yang begitu dalam. Namun air mata telanjur habis, kalah oleh rasa lapar.             

Kenapa aku lahir di zaman yang penuh kesedihan?

Kau yang membuat semua ini jadi begini. Kau hanya membuat janji namun tak pernah ditepati. Bukankah kau sendiri yang berkata “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Dipelihara seperti apa? Oleh negara yang mana?

Apa kau lupa, berapa kali aku digiring oleh petugas bagaikan anak ayam. Dengan teriakan, dengan kasarnya masuk ke mobil-mobil penertiban. Dibawa ke tempat rehabilitasi sosial, didata, dan dilepas lagi. Setelahnya kembali ke jalan, terminal, pasar, dan tempat ibadah. Apakah itu bentuk pemeliharaan?

Apa kau lupa, orang yang peduli padaku justru kau ancam dengan peraturan-peraturan. Tentang pelarangan pemberian uang atau apapun bentuknya. Kenapa bukan mereka saja, orang-orang tak bertanggungjawab yang menjual dan membisniskan kaum sepertiku.       

Satu hal yang harus kalian tahu, aku adalah burung gagak yang tak tahu cara terbang. Burung gagak adalah unggas paling cerdas di antara yang lain. Tapi tetap hina saat tak bisa terbang. Bukan salahnya, karena tak ada yang mengajari cara mengepakkan sayap-sayap itu.

Begitu juga denganku, aku adalah anak manusia yang memiliki kecerdasan. Namun tak seberuntung mereka yang mengenyam pendidikan. Tuhan, bukan salahku jika aku menjadi anak jalanan, gelandangan dan peminta-minta. Sebab tak ada yang memberitahuku cara menggunakan kecerdasan ini.

Apakah mungkin sayap gagak yang hitam berubah menjadi putih?

Itu hanya sebuah dongeng, tak pernah ada, tak pernah nyata. Serupa dengan kata mereka jika “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Itu pun hanya sebuah dongeng untukku. 

*Tulisan ini terinspirasi oleh lagu “One Ok Rock” yang berjudul Karasu.

Je Prakoso
Penulis Sastra. Buku puisinya berjudul Layu telah terbit di Ide Publishing