Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ilustrasi Covid-19.

Transformasi Hukum Pidana Integratif untuk Pencegahan Covid-19



Angka penularan covid-19 kian mengganas sampai saat ini. Munculnya varian delta yang memiliki mutasi lebih cepat ketimbang varian covid sebelumnya, menyebabkan banyak klaster baru. Sekaligus, menjadi alarm gawat darurat bagi semua masyarakat.

Salah satu klaster yang meningkat tajam di pertengahan tahun ini adalah klaster penjara. Bahkan ada 275 orang di Lapas Kelas IIA Narkotika Yogyakarta yang dinyatakan positif covid19. Mereka bukan hanya warga binaan, melainkan juga petugas. Tentu ini menjadi lampu merah bagi seluruh petugas. Mengingat hampir seluruh Lapas dan Rutan mengalami kelebihan kapasitas (overcrowded) hingga mencapai angka 201%.

Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), salah satu penyebabnya adalah regulasi terkait Pidana Penjara yang terlalu banyak. Pidana penjara saat ini diatur sebagai ancaman pidana di berbagai peraturan perundang-undangan.

Undang-undang Hukum Pidana

Selain di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sejak awal reformasi (1998) hingga 2016, terbentuk 563 peraturan perundang-undangan baru yang 154 di antaranya merupakan aturan dan ketentuan pidana. Sebanyak 1.601 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, dengan proporsi 716 perbuatan merupakan tindak pidana baru yang sebagian besar diancam dengan sanksi pidana penjara.

Tercatat, setidaknya 91,34% regulasi tindak pidana merupakan sanksi penjara, 6,28% dengan sanksi pidana kurungan, dan 2,37% dengan sanksi pidana denda. Belum lagi peraturan perundang-undangan yang dihasilkan hingga tahun 2021 ini, misal omnibus law, tentu akan lebih banyak lagi pidana penjara yang diterapkan. Padahal tujuan dari pemidanaan bukanlah sekadar memberi sanksi si pelaku agar menjadi jera dan tak berdaya.

Berbagai teori mengatakan bahwa hukum pidana memiliki bermacam tujuan, tiga paling populer adalah sebagai alat untuk membalas (retributif), mencegah (deterrence), bahkan memulihkan kembali (restore) sebuah tindak pidana yanng terjadi. Ironisnya, sanksi pidana yang digandrungi di negeri ini masih sebatas hukuman berupa pidana penjara saja. Tidak banyak yang berorientasi untuk mencegah atau bahkan memulihkan.

Hal ini diakibatkan dari paradigma masyarakat yang masih menjunjung tinggal nilai pembalasan terhadap suatu persoalan. Secara tidak sadar rumusan pembalasan yang dibuat oleh manusia membuat belenggu atas dirinya sendiri dengan menciptakan hukum dengan batasan hitam putih saja. Padahal manusia adalah makhluk yang sangat kompleks. Sehingga seringkali hukum tidak mampu menjawab persoalan manusia secara adil bagi kehidupannya.


Persoalan lebih jauh ketika hal yang dibuat oleh tangan manusia tadi dianggap sebagai jalan satu-satunya untuk menciptakan keadilan dalam hidup. Celakanya, anggapan tersebut diamini oleh banyak orang hingga saat ini, hingga pada akhirnya manusia terkungkung oleh buatannya sendiri.

Terlalu naif jika mendasarkan keadilan hanya pada sudut pandang hitam putih konsep pembalasan dalam hukum pidana di tengah kompleksitas kehidupan manusia. Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan manusia menuntut keadilan hukum pidana yang bukan hanya berdasarkan hitam dan putih bukti sehingga menciptakan kekakuan, melainkan perlu melibatkan unsur lain yang mengitari kehidupan manusia, baik sosialogis maupun antropologis.

Terlebih lagi pemerintah pun mengamini budaya pidana retributif yang berkembang dengan menerapkan dalam setiap regulasi. Tentu pidana retributif adalah alat yang paling baik bagi penguasa untuk menekan apa yang ada di bawahnya. Dengan dalih untuk menciptakan birokrasi yang baik, pidana retributif akan sangat mendukung terwujudnya hal tersebut. Namun, di setiap kekuasaan pasti akan ada benih penyimpangan. Apalagi dengan banyaknya alat penguasaan untuk melakukan hegemoni kepada rakyatnya melalui pidana retributif.

Padahal, rumusan awal muncul konsep hukum pidana adalah untuk menyelesaikan persoalan. Akan tetapi dalam perjalanannya justeru muncul polemik yang berkepanjangan hingga hari ini.

Jika agama bisa didekati dengan mengintegrasikan ilmu yang ada, mengapa hukum pidana tidak bisa? Artinya pendekatan integratif terhadap sebuah kasus pidana sangat diperlukan agar menciptakan keadilan yang bukan saja bersifat antrophosentris, tetapi progresif dengan melibatkan berbagai unsur, termasuk transenden. Sehingga keadilan dapat merangkul semua pihak, bahkan bukan hanya manusia saja.

Harapannya akan muncul sebuah paradigama progresif dalam hukum yang bukan saja menjerakan pelaku, namun juga mengayomi korban serta memulihkan kondisi semuanya seperti sedia kala. Karena keadilan hukum tidak akan terwujud berdasarkan hitam-putih saja, perlu warna agar dapat dirasakan oleh seluruh manusia.

Maka, strukturasi sistem pidana retributif menjadi integratif dengan orientasi pemulihan, bukan sekadar penjeraan bagi tersangka kasus pidana. Ketika kran pengisi lapas dan rutan dapat diurai produksinya dengan memberikan alternatif pidana selain penjara, bukan tidak mungkin angka penyebaran covid-19 akan menurun seiring dengan berkurangnya penghuni lapas/rutan. Tentu ini menjadi langkah bijak untuk menekan laju pertumbuhan covid-19 di dalam penjara.


Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Penulis adalah alumni Mu’allimin dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini menjadi ASN di Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada Bapas Kelas II Pekalongan