Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Abstract textured oil painting

Titik Balik | Cerpen Sriwiyanti



“Aku tidak akan mati besok. Usiaku sangat muda, badanku sehat, karirku jangan ditanya.” Kalimat yang selalu kuutarakan selama dua puluh tahun terakhir, sejak aku menjadi pejabat tinggi dan kini berada di puncak karir sebagai direktur jenderal di salah satu direktorat milik negara. Aku tentu tidak langsung melompat dalam semalam pada posisi tersebut. Namun, bisa dibilang karirku semulus betis yang baru dicabut bulunya.

Tentu banyak hal yang membuatku tiba di sana, salah satunya keluwesanku dalam membangun relasi dengan stakeholder, tak bisa dipungkiri kemampuan komunikasiku yang jempolan, juga bakatku membaca selera humor setiap orang yang kutemui, menjadikanku partner yang disukai banyak kolega. Alih-alih menjadi bahan tertawaan atasan atau momok bawahan, aku berdiri sebagai figur yang berwibawa, disegani namun tetap didekati. Aku sangat mengenal kepiawaianku dalam membawa diri. Ya, berada di puncak karir tentu bukan satu hal yang mencengangkan. Semuanya adalah hasil jerih payah yang kulakukan selama lebih dari separuh usiaku.

Dimulai sejak usia dua puluh lima tahun, ketika pertama kali dilantik sebagai Pegawai Negeri di halaman gedung pencakar langit berwarna merah putih. Aku mendongak, menatap menara yang tersenyum angkuh. Kutatap sepatu pantofel yang mengkilat, usai disemir istriku berulang kali. Tetapi, aku masih belum percaya diri untuk memakainya. Kusemir lagi hingga lima kali, barulah kumasukkan kakiku yang dibalut kaos kaki berwarna hitam polos.

Kini, perjalanan itu tertinggal jauh di belakang. Aku adalah seorang direktur jenderal di ibukota, dengan beberapa bawahan yang siap berjalan membawa tasku persis satu langkah di belakangku. Para pegawai tersenyum ramah dan memberi penghormatan tak kenal lelah. Langkah tegak, tatapan cemerlang, ide brilian, adalah satu paket yang tersemat pada namaku.

Sayang, matahari bisa tenggelam, masa pensiunku tiba seminggu ke depan. Aku sedang berada di kantor, duduk di atas kursi direktur, berputar-putar, menghadap ke lautan atap gedung dan perumahan. Kemudian pada meja berkaca hitam yang mengkilat, namaku tercetak dengan tinta berwarna emas. Rapat penggantiku telah usai sejak jauh hari. Aku seperti harimau yang kehilangan taring. Hari-hari terakhirku di ruangan ini seperti mimpi. Suara ketukan di pintu tiba-tiba mengagetkanku, sekertarisku masuk membawa map berwarna cokelat, aku berdiri dan membentaknya keluar. Berani-beraninya ia menyentuh gagang pintu tanpa kupersilakan.

Entah aku tak ingat persisnya, aku terbangun di hari pertama masa pensiunku, aku menyibak selimut putih dan menatap jam berbentuk cangkir pada meja di samping ranjang, pukul enam pagi. Aku menyeruput susu hangat yang disajikan pembantuku. Istriku tengah merawat tanamannya di halaman. Anak tunggalku telah menikah dan memiliki kehidupannya sendiri.

Aku berjalan menuju teras, menyentuh koran dengan bau kertas yang menyengat. Aku jadi teringat bertahun-tahun yang lalu ketika headline koran bisa kuatur semauku. Saat aku menjabat sebagai kepala kantor wilayah di daerah, seorang bawahanku melapor tentang pelecahan seksual yang kulakukan. Padahal aku tahu ia juga berharap besar akan sentuhanku. Lagipula, saat itu tubuh empat puluh lima tahunku masih sangat bugar dan dipuja banyak pegawai. Berita itu tentu saja menguap setelah kutimbun beberapa keping rupiah. Bahkan, headline koran lokal berubah menjadi solidaritas Kantor Wilayah Kementrian A untuk warga yang terdampak banjir.

Aku terkekeh mengenang peristiwa itu. Kupanggil istriku untuk menemani kopi pagiku di teras. Ia bergeming, masih memegang gunting di hadapan anggreknya. Hingga kudapanku tandas, ia masih sibuk dengan tanaman hiasnya. Ketika matahari pagi mulai sedikit menyengat, ia melangkah menuju kran air, melepas sepatu bot dan sarung tangannya. Ia melihat ke arah cangkir kopiku yang tersisa setengah.

“Ingat kolesterolmu, Pak.”

Aku tertawa mendengarnya. Bisa-bisanya ia memerintahku, mendikte hidupku. Ia pikir dirinya penguasa di rumah besar ini. Aku tiba-tiba merasa muak melihatnya menjadi ratu tanpa pernah melakukan apapun. Mengotori tangannya untuk menyiapkan sarapan pun tidak. Bahkan ketika dipanggil olehku sebagai atasannya, ia bergeming. Akhirnya, aku bangkit dan berteriak di hadapannya, “Kemasi barang-barangmu, tinggalkan rumah ini.”

Seminggu setelah kejadian itu, aku terbangun pukul lima pagi, mendapati kamar yang lebih lengang tanpa barang-barang mantan istriku. Kini aku menjadi pemimpin tunggal di rumah ini, ketenangan yang membuat perasaanku lebih lega. Tiga pembantu akan selalu menurut tanpa protes. Aku bisa mengatur segalanya sesukaku. Kulangkahkan kaki menuju teras, seluruh sendiku memberontak, terutama lututku yang mulai bergetar ketika telapak kaki memijak. Pembantuku tergopoh mendengar teriakanku. Dokterku tiba lebih cepat dari biasanya.

Aku jadi teringat kasus korupsi tiga tahun yang lalu. Beberapa penyidik mengikutiku selama tujuh minggu terakhir. Duetku dengan Pak Menteri memang sudah terhidu sejak lama. Namun, siapa yang berani menyentuh kami tanpa bukti. Dokter pribadiku muncul sebagai tameng sekaligus perantara. Di ruangan istimewa Rumah Sakit itu, siapa yang berani mengganggu istirahat seorang direktur jenderal yang sedang terjangkit virus mematikan. Begitu penyidik lengah, beberapa transaksi kami selesaikan melalui tangan dingin seorang dokter yang mampu membuat skenario dengan sempurna.

Usai diperiksa dokter pribadiku di atas tempat tidur. Anakku datang bersama suaminya. Meski sejak perceraianku seminggu lalu, ia sebenarnya sudah memberi ancaman untuk tidak mengunjungiku sampai perasaannya membaik. Ia memang dekat dengan ibunya, namanya juga anak perempuan. Tapi, setelah kutatap garis wajahnya dengan rambut terurai, cara bicaranya yang cenderung mendikte, membuat sendi-sendiku semakin terasa nyeri, ia benar-benar seratus persen ibunya. Jangan-jangan ia bukan darah dagingku. Aku mengusulkan agar kami tes DNA setelah tubuhku membaik. Tapi anakku malah membanting pintu kamar kemudian berjanji tak akan mengunjungiku lagi. Aku setuju dengan itu.

Tiga hari terbaring dengan pelayanan maksimal dari pembantuku. Aku merasa lebih baik. Waktu lebih cepat berlalu ketika tertidur. Ada undangan mengisi seminar daring yang ditawarkan oleh mantan pegawaiku. Aku menyanggupinya, lagipula badanku terasa membaik. Keesokan harinya, ia mengirimiku pamflet promosi acara tersebut, yang menampilkan wajahku dengan setelah jas berwarna hitam. Di atas fotoku, ada juga narasumber lain yaitu direktur dari sebuah BUMN yang usianya lebih muda, wajahnya lebih bersih, senyumnya entah kenapa membuatku merasa kesal. Aku segera mengirim pesan singkat pada mantan pegawaiku itu, aku tak berminat mengisi acara pada forum dengan dua matahari. Lebih-lebih ketika aku menjadi nomor dua.

Rasa kesal melihat pamflet acara tersebut membuat nafsu makanku hilang hingga behari-hari. Setiap makanan yang dihidangkan di meja makan, menimbulkan gejolak di perutku dan membuatnya terasa penuh. Udang galah menari, kepiting berjalan miring, ayam bakar mematuk dinding lambungku. Oh, aku mengeluarkan muntah berwarna bening dan berlendir. Pembantuku tergopoh memindahkan piring-piring dari meja makan. Aku berdiri dengan mata melotot dan napas terengah. Bisa-bisanya ia lebih mementingkan piring daripada majikannya. Tanpa berpanjang kata, kusuruh ia mengemasi barangnya bersama dua pembantu yang lain. Aku memang seharusnya tidak hidup berdampingan dengan orang-orang yang tidak kenyang dengan bangku sekolah.

Rumah besarku kini benar-benar lengang. Aku duduk di ruang tengah di atas sofa megah berwarna emas, kutatap lampu gantung berbentuk bunga tulip dengan tali panjang yang mencengkeramnya. Aku teringat laron yang dulu sering memenuhi lampu di surau ketika mengaji, dan semua anak-anak tak berani pulang karena hujan. Bukan basah yang ditakuti, tetapi aku pulang mengaji melewati pemakaman umum yang dipenuhi rimbun bunga melati. Bau yang menguar membuat siapapun tak sanggup melawan gemetar di lutut.

Suara rintik hujan menarikku kembali pada lampu gantung megah itu. Hujan terdengar semakin deras. Hawa dingin membuat tubuhku merasakan lapar. Aku berjalan menuju dapur, mataku menyapu semua furnitur yang membuatku merasa seperti di sebuah kafe bergaya klasik.

Baca Juga: Mencari Kunci Aura Cerpen Sriwiyanti

Entah kenapa, pertemuan intim pertama kali dengan atasanku terputar begitu saja. Malam itu, sepulang dari kantor kecil di daerah, Pak Kepala mengundangku ke Kafe Klasik. Aku datang dengan perasaan campur aduk, mengenakan kemeja batik berwarna biru dan sepatu hitam. Tak kuduga, ia menawariku sebuah jabatan strategis di kantor wilayah, berikut dengan beberapa konsekuensi yang harus kujalani. Mulai dari memasukkan beberapa sanak familinya hingga menjadi perantara bayangan pada beberapa transaksi dengan klien. Itulah titik balik yang kuingat, kemudian perlahan tapi pasti karirku terus menanjak mencapai puncak.

Suara getaran di perut menarikku kembali di meja dapur panjang yang dilapisi kaca hitam. Aku berjalan menuju kulkas, membukanya dan menemukan aneka makanan yang baunya membuat isi perutku ingin melompat. Aku segera menutup pintu kulkas sebelum mengacaukan dapur. Aku duduk di lantai menghadap kompor listrik. Kakiku terasa lemas untuk menopang tubuhku. Barangkali sudah dua hari ini aku tidak memakan apapun. Bagaimana bisa aku tak mampu mengontrol tubuhku sendiri. Harusnya semua bisa kukendalikan. Tangan kananku meraih pintu buffet kaca dan menemukan beberapa bungkus mie instan. Kupikir itu adalah barang-barang milik pembantuku. Anehnya, rasa mual diperutku tak kembali. Aku segera bangkit mengambil wadah untuk memasak air, meletakkannya di atas kompor, lalu aku duduk di kursi kayu tinggi berwarna krem. Tangan kananku menopang dagu yang rasanya leherku sudah tak sanggup melakukannya. Pandanganku tiba-tiba kabur, dan serangan kantuk tiba-tiba melumpuhkan kesadaranku.

Tak lama, aku menghidu aroma gosong yang langsung mengaktivasi syaraf-syarafku. “Air, air, air…” Aku mencari wadah air yang baru saja kuletakkan di atas kompor. Tapi, tak ada air, tak ada kompor, dan aku sedang tidak duduk di dapur. Aku menatap setrika yang mengepulkan asap di atas kemeja batik berwarna biru.

“Mas, Mas… setrikanya diangkat, bajunya bolong. Ya ampun, baunya sampai ke kamar. Kok Mas bisa ketiduran, cuma kutitipin sebentar.”

“Hah… apa? Aku ketiduran?”

“Lah, iya. Tadi Putri bangun kususuin terus tidur lagi. Mas tadi lagi buru-buru mau ketemu Pak Kepala di Kafe Klasik, kok. Katanya ada hal penting yang ndak bisa diobrolin di kantor.”

“Tidak, tidak. Mas tidak jadi ke sana.”

“Lah, kenapa Mas?”

“Pokoknya tidak akan.


Sriwiyanti, seorang sastrawan yang lebih dikenal dengan nama Yanti Hanahime. Beberapa karyanya dalam bentuk Novel dan Cerpen sudah tersebar di pasaran.