Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

orang tua
pixabay

Generasi Lemah dan Abainya Orang Tua



Berita Baru Kalbar, Opini – Tidak semua orang tua dapat memahami tindakan yang dilakukan oleh anaknya. Ironisnya, akan selalu ada orang tua yang dengan mudah menjustifikasi kesalahan anaknya dengan menjauhkan diri dari rasa tanggung jawab sebagai orang tua.

Asumsi saya ini muncul ketika mewawancarai orang tua salah seorang klien anak yang pernah saya dampingi dalam proses peradilan. Biasanya, orang tua akan selalu menjadi garda terdepan dalam melindungi anak-anaknya. Tetapi tidak sedikit pula yang bukan sekadar menyalahkan anaknya, melainkan sampai merasa tidak ikut bertanggung jawab terhadap persoalan yang sedang dialami oleh sang anak.

Pernyataan “Bukan urusan saya pak, soal perilaku di luar rumah. Tugas saya hanya mencari makan untuk mereka.” Atau “Padahal saya nggak pernah seperti itu. pak. Nggak tau ini anak meniru siapa,” adalah argumentasi yang sangat tidak bertanggung jawab oleh beberapa orang tua ketika anak mereka berhadapan dengan hukum.

Jika orang tuanya saja selalu menimpakan kesalahan kepada anaknya, lantas bagaimana tanggung jawab seseorang yang disebut orang tua? Padahal anak adalah anugerah Tuhan yang mestinya dijaga oleh setiap orang yang mendapatkannya.

Setiap anak yang lahir di muka bumi ini selalu dibekali fitrah oleh Tuhan. Secara sederhana fitrah dimaknai sebagai potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya, dalam memahami kehidupan secara damai di dunia ini.

Menurut Quraish Shihab, dalam Tafsir al Misbah, bahwa fitrah merupakan “menciptakan sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya.” Fitrah sebagai unsur, sistem, dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau dengan arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir.  Al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap anak yang terlahir telah membawa potensi (fitrah), kemudian lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang melengkapi dan membentuk lebih lanjut potensi tersebut.

Fitrah (potensi) bukan hanya disampaikan dalam al Quran, bahkan  dalam pendidikan barat pun dikenal istilah teori Tabularasa yang didengukan oleh Jhon Luck. Dalam teori tersebut setiap anak yang terlahir bagaikan kertas kosong, keluarga dan lingkungan yang akan mengisi potensi tersebut.

Maka seharusnya setiap orang tua dapat memberikan pendidikan berdasarkan dengan fitrahnya (potensi) anak. Karena yang akan membentuk dan menyiapkan bekal hidup bagi mereka adalah orang tuanya. Paling tidak ada tiga hal yang harus ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya di tengah era disrupsi ini, yaitu Agama, Ilmu dan Ekonomi.

Agama menjadi hal fundamental yang harus ditanamkan oleh setiap orang tua. Minimal ritual ibadah bisa senantiasa dijalankan anak agar membiasakan ketundukan pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena sejatinya manusia adalah makhluk kecil ciptaan Tuhan yang memiliki ambisi besar untuk menjadi tuan. Maka sikap beragama mampu mengerem ambisi-ambisi buruk tersebut.

Selanjutnya ilmu adalah hal yang seharusnya diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Ilmu apapun yang dapat menghantarkan anak kepada prinsip baik dan kokoh dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Baik didikan ilmu secara personal maupun melalui institusi pendidikan. Lalu yang tidak kalah penting adalah ketahanan ekonomi. Ini menjadi pekerjaan rumah tangga bagi setiap orangtua agar mampu meninggalkan anak-anaknya tidak dalam keadaan bersusah payah. Namun, hal ini pun sangat terkait dengan bekal agama dan ilmu yang telah diberikan oleh orangtua kepada anaknya.

Ketika semua hak tersebut terpenuhi maka anak akan memiliki kehidupan yang bisa lebih baik lagi kedepannya. Karena anak adalah generasi penerus bangsa. Anak dan masa depan adalah satu kesatuan yang dapat diwujudkan untuk membentuk suatu generasi yang dibutuhkan oleh negara terutama negara yang sedang membangun. Maka negara pun perlu mengawasi dan memberi peningkatan terhadap keterampilan, pembinaan mental, dan moral  anak, serta aspek-aspek lainnya. Karena era globalisasi yang ditandai dengan berbagai perubahan tata nilai, menuntut setiap anak harus mendapat pembinaan intensif dan terpadu.

Untuk itu, orang tua harus memperhatikan perkembangan jasmani, rohani, dan akal anak-anaknya. Bukan malah melimpahkan tanggung jawabnya dengan sekadar menyalahkan anak.


Royyan Mahmuda Daulay
Asn Kemenkumham dan Pascasarjana IAIN Pekalongan